Jakarta, Aktual.co — Ekonom Riau, Dr Viator Butar-Butar berpendapat bahwa keberadaan Bank Riau Kepri kini terancam bankrut diindikasi adanya “skandal” atas obligasi yang diterbitkan bank tersebut sebesar Rp500 miliar.

Obrigasi itu pada periode 8 Juli 2011 – 8 juli 2016, dengan suku bunga hanya 10,4 persen di bawah biaya dana itu.

“Ancaman bangkrut tersebut diyakini akan terjadi karena Bank Riau Kepri dirugikan, sebab kebijakan suku bunga kredit di bawah biaya dana antara lain mengakibatkan berkurangnya penerimaan pendapatan bank berupa hasil bunga,” kata Viator di Pekanbaru, Selasa (4/11).

Menurut dia, dengan bunga sebesar 10 persen itu itu artinya sama dengan Rp52 miliar per tahun, dan bunga sampai jatuh tempo mencapai Rp260 miliar sedangkan bunga yang telah dibayarkan mencapai Rp156 miliar lebih (selama 12 kali bayar).

Selain itu, kredit yang diberikan periode akhir Agustus 2014 tercatat sebesar Rp12,7 miliar dan terkosentrasi dalam bentuk KPR dan kredit aneka guna (konsumtif) yang ditujukan pada PNS sebesar Rp10,2 miliar atau terkosentrasi 80 persen dari jumlah kredit dan rata-rata jangka waktu kredit di atas lima tahun, tingkat suku bunga berkisar lebih kurang 9,5 persen.

“Analisa kerugiannya, pertama muncul antara penerbitan obligasi dengan kredit yang diberikan dengan asumsi sama dengan nilai obligasi sebesar Rp500 miliar untuk jangka waktu lima tahun, yakni pertama membayarkan bunga obligasi yang diterbitkan /cost of funt belum termasuk biaya dana giro/ tabungan deposito Rp260 miliar,” katanya.

Kedua, pendataan dari hasil bunga kredit yang merupakan usaha pokok bank yakni sebesar Rp235 miliar, ketiga kerugian riil atau nyata akibat lebih besar biaya bunga obligasi yang dijual atau diterbitkan daripada hasil bunga kredit yang diberikan Rp24,5 miliar.

Bahkan, kerugian tersebut belum diperhitungkan akibat meningkatnya kredit bermasalah atau kredit kolektibility 3,4 dan 5 yang saat ini sudah mendekati Rp400 miliar lebih.

Ia memandang bahwa tujuan penerbitan obligasi sebesar Rp500 miliar adalah untuk persedian likuiditas Bank Riau Kepri dalam rangka untuk penyaluran kredit pada PNS, ternyata dalam implementasinya Bank Riau Kepri dalam menyalurkan kredit tersebut dengan tingkat suku bunga di bawah suku bunga obligasi yang diterbitkan yaitu 9,5 persen atau lebih kecil dari biaya bunga obligasi yang dijualnya kini 10,40 persen.

Dan atau jauh lebih kecil lagi jika dibandingkan cost of fund dari seluruh simpanan berupa giro atau tabungan dan deposito sebagai dasar suku bunga kredit (SBDK) yang saat ini tertera di counter Bank Riau Kepri berkisar 13,5 persen.

“Padahal Bank Riau Kepri merupakan lembaga kepercayaan pemerintah daerah dan masyarakat yang orientasinya adalah bisnis dan profit, bukan lembaga sosial dan juga bukan lembaga politik,” katanya.

Ia menekankan, kebijakan suku bunga kredit di bawah biaya dana maka Bank Riau Kepri juga merugi, berkurangnya laba bank sehingga dapat menguras modal bank, sebab laba bank merupakan komponen modal tier-1.

Suku bunga yang rendah, katanya, membahayakan kecukupan penyediaan modal minimum dan menghambat ekspansi kredit.

“Parahnya, kebijakan penerbitan obligasi ini dan dengan menetapkan suku bunga kredit di bawah suku bunga dana (cost of fund) merupakan tindakan pelanggaran atas Surat Edaran (SE) BI no. 6/15/DPNP/tanggal 31 Maret 2004 dan dicabut diganti dengan SE BI no. 13/8/DPNP/2011 tanggal 28 Maret 2011 dan SE BI no. 13/26/DPNP /tgl 30 nov 2011, perihal perubahan SE BI no.13/8/DPNP tanggal 28 Maret 2011 tentang uji kemampuan dan kepatutan pada BAB III,” ujarnya.

Ia menjelaskan, pada butir pertama (b), yang berbunyi, “tindakan memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, anggota dewan komisaris, anggota direksi dan atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan bank, yakni antara lain pemberian suku bunga pinjaman di bawah cost of fund.

Berikutnya butir (c) yang berbunyi “tindakan melanggar prinsip kehatian-hatian di bidang perbankan dan atau asas-asas perbankan yang sehat antara lain pemberian kredit yang tidak didasarkan pada prinsip pemberian kredit yang sehat.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka