Jakarta, Aktual.com — Mencuatnya kasus Panama Papers yang di dalamnya terdapat banyak perusahaan Indonesia membentuk badan hukum bertujuan khusus berbentuk Special Purpose Vehicle (SPV) mestinya harus menjadi sorotan publik.
Pasalnya, pembentukan SPV ini bisa disebut semacam ‘perusahaan bayangan’ yang bertujuan salah satunya untuk menghindari pembayaran pajak.
Namun demikian, kondisi tersebut ternyata di mata pengusaha sebagai sesuatu yang wajar. Lho, kok bisa dianggap wajar?
“Karena banyak pengusaha Indonesia, bahkan perusahaan BUMN yang menggunakan SPV saat bertransaksi di luar negeri tu. Jadi itu wajar,” terang Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani di Jakarta, Rabu (6/4).
Menurutnya, perusahaan swasta dan BUMN ketika mau menerbitkan surat utang atau obligasi tidak membawa badan hukum Perseroan Terbatas (PT), tapi SPV.
“Karena kami ini sebagai pengusaha banyak akuisisi perusahan-perusahan di luar negeri dan itu lazim dilakukan dengan SPV itu,” kilah Rosan.
Ia kembali melanjutkan, dalam pembentukan usaha di luar negeri, dari aspek pendanaannya itu banyak menggunakan bank-bank asing. “Sehingga untuk mensiasatinya itu, dengan menggunakan SPV itu,” terang dia.
Apalagi untuk perusahaan-perusahaan swasta memakai jasa konsultan untuk mencari pendanaan itu hanya berorientasi bisnis semata. Dalam arti hanya mencari keuntungan.
“Jadi dalam konteks ini (Panama Papers), mesti dilihat secara keseluruhan,” pinta dia.
Secara teori, pembentukan SPV atau special purpose company biasanya sebagai perusahaan “bentukan” untuk memanfaatkan dan menikmati fasilitas perpajakan yang disediakan dalam tax treaty antara Indonesia dengan treaty partner itu. Sehingga si perusahaan itu bisa lebih sedikit membayar pajaknya dari yang semestinya.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Umum Kadin bidang Konstruksi dan Infrastruktur, Erwin Aksa mengamini, pembentukan SPV itu lumrah dibentuk pada saat kita mendapatkan pendanaan dari luar negeri.
Langkah ini dianggapnya bukan untuk menghindari pajak tapi untuk tax saving. Namun jika pemerintah mau menelusurinya terkait ketaatan mrmvayar pajaknya, dia menyambut baik.
“Pemerintah bisa masuk untuk ke para pengusaha atau pribadi yang punya offshore asset. Ini kesempatan baik bagi pemerintah untuk mengkoreksi laporan-laporan pajak pribadi itu,” jelas Erwin.
Seperti diketahui, bocoran data bertema Panama Papers ini menghebohkan Indonesia. Ini sebuah skandal yang berupaya mengemplang pajak serta pencucian uang dari perusahaan Indonesia di luar negeri.
Langkah perusahaan Indonesia itu selama ini diamankan oleh sebuah firma hukum bernama, Mossack Fonseca. Dalam berkas data yang dibobol peretas itu, terdiri dari tiga kategori.
Pertama, ada 17 perusahaan masuk jenis officers & master clients, artinya korporasi itu memakai identitas yang jelas lalu menanamkan asetnya di negara tax heaven. Ada dua perusahaan Tbk di jenis ini, serta beberapa anak usaha perbankan multinasional yang cukup kondang.
Kategori kedua, offshore entities menginduk pada korporasi asal Indonesia, jumlahnya 41 unit. Nama-nama perusahaan bayangan ini memakai nama-nama yang kurang familiar bagi publik Tanah Air. Seperti Paving Investment, Lilac Swiss, atau Capsec Ltd. Pasalnya, dari sisi aset juga sulit dilacak siapa pemiliknya.
Kategori ketiga, data yang menunjukkan perusahaan terdaftar menanamkan modal di negara-negara tax heaven yang melalui sentuhan Mossack Fonseca. Jumlahnya mencapai 2.190 alamat usaha. Mayoritas berkantor di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, atau kawasan segitiga emas, Kuningan-Sudirman-Thamrin.
Masuk dalam tiga kategori itu tidak otomatis menyatakan sebuah perusahaan melanggar hukum. Namun, setidaknya data ini membuktikan eksistensi perusahaan asal Indonesia menanamkan uangnya ke wilayah dengan kebijakan pajak sangat minimal.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan