Dirjen Migas, I Gusti Nyoman Wiratmadja Puja saat mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VII DPR RI, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/3/2016). Raker tersebut membahas Peraturan Menteri (Permen) no 37 tahun 2015 tentang tata cara penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi, Permen no 19 tahun 2015 tentang pembelian tenaga listrik dari PLTA dengan kapasitas sampai 10 MW, Permen no 05 tahun 2016 tentang tata cara persyaratan pembelian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri dan membahas dana ketahanan energi. Aktual/Junaidi Mahbub

Jakarta, Aktual.com – Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja, merasa terharu mendengar analogi pengelolaan sawah dengan skema gross split bagi hasil migas. Ia mengenang hari-hari tersulitnya di masa kecil.

Adalah Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar yang menganalogikan gross split dengan pola bagi hasil garap sawah. Archandra menyampaikannya dalam forum sosialisasi Permen Gross Split di Kementerian ESDM, Jumat (20/1).

Ia mengatakan, jika hasil panen 10 karung padi maka petani mendapat 5 karung dan pemilik lahan mendapat 5 karung. Jika biaya dalam penggarapan sawah menghabiskan biaya yang dikonversi sekitar 2 karung, maka bagian petani tinggal mendapat 3 karung padi. Sedangkan bagian pemilik lahan (negara) tetap 5 karung.

Berbeda dengan pembagian skema cost recovery, kata Archandra, jika pembagian 7 karung untuk pemilik lahan dan 3 karung untuk petani maka biaya garap sawah akan diambil pada bagian pemilik sawah.

Jika biaya diklaim oleh petani mencapai 5 karung, maka pendapatan pemilik lahan (negara) hanya tersisa 2 karung.

Setelah paparan Arcandra, giliran I Gusti Nyoman Wiratmaja berbicara. Ia langsung menyampaikan rasa harunya dengan kenangan di masa kecil. Baginya, analogi sawah bukan hanya sekedar pemahaman atas Gross Split, namun lebih dari pada itu mampu menjiwai sekaligus mengembalikan perasaannya kepada masa 50 tahun yang lalu.

“Kalau yang dijelaskan oleh Pak Wamen tadi tentang sawah, saya sangat mengerti karena hidup saya sewaktu kecil di sawah,” tuturnya.

“Tahun 76 gempa besar di Bali, saya lagi di sawah jam 2 siang. Jadi waktu kecil lagi nyangkul disawah, tiba-tiba gempa besar. Jadi belepotan lupur di kepal. Jadi perumpamaan denga sawah itu membuat saya mengerti sekali,” sambung Wiratmaja.

Tak hanya itu, ia juga menyampaikan curahan hatinya sewaktu mengenyam pendidikan. Dimana saat sekolah tingkat SD hingga SMP tidak mempunyai sepatu.

“Saya SD sama SMP nggak punya sepatu. Saya tidak pakai sepatu hingga lulus SMP. Saya masih ingat waktu SMP kelas 1, berat badan saya hanya 20 kg,” kenangnya.

(Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh: