Penyapresan Jokowi lebih awal oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Sukarnoputri memang mengejutkan baik internal PDIP dan lingkar dalam Presiden Jokowi, maupun formasi politik di luar skema Jokowi dan Megawati. Tak terkecuali Wakil Presiden Jusuf Kalla berikut gerbong politiknya.
Mengejutkan karena kali ini di luar pakem atau kebiasaan. Sebab selama ini Mega dan PDIP selalu menganut kebijakan wait and see . Lihat ke mana angina berembus dan bagaimana dinamika politik berkembang dan berprose.
Lantas, apa sasaran jangka pendek dari manuver Megawati dan para penasehat strategisnya dengan penyapresan Jokowi lebih awal? Sepertinya sudah terbaca jika kita memang mencermatiya secara jeli. Mematikan inisiatif politik Wapres Jusuf Kalla sehingga sulit memainkan kartu kartu politiknya dalam skema kerjasamanya dengan Joko dan Mega untuk periode Pilpres 2019 mendatang.
Dua modalitas politik yang jelas-jelas merupakan kartu politik JK untuk dimainkan pada Pilprews 2019 adalah koalisi lintas partai yang terdiri dari Nasdem, PKB dan Hanura. Ketiga parpol yang pada awal pemilu 2014 lalu disebut sebagai Koalisi Indonesia Hebat, secara de fakto merupakan mesin politik JK dalam bargaining position terhadap Jokowi dan Megawati.
Pada sisi lain, JK punya kartu AS yang di permukaan public belum banyak tahu namun jika mencermati kronologi tampilnya duet Anies-Sandi pada Pilgub DKI Jakarta lalu, andil dan saham politik JK dan , adik iparnya, Aksa Mahmud, dalam mengondisikan dan mendorong Anis Rashid Baswedan bersedia maju dalam pencalonan gubernur Jakarta melawan Ahok. Bahkan Aksa Mahmud dengan bantuan dari Maher Algadri, kawan karib Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, merupakan pemain-pemain kunci yang akhirnya Prabowo menyetujui pencalonan duet Anies-Sandi melalui koalisi Gerindra-PKS.
Meskipun ide mengawinkan Anies-Sandi lewat Gerindra untuk melawan gubernur petahana Basuki Tjahja Purnawa dilatarbelakangi oleh Gelombang Aksi Bela Islam 411 dan 212 gara-gara blunder Ahok terkait surat Al-Maida 51, namun sulit dibantah bahwa memunculkan duet Anies-Sandi merupakan prakarsa Aksa Mahmud dan JK dengan memanfaatkan secara jeli gelombang Aksi Bela Islam 411 dan 212. Yang tentunya bagi JK dan para kroni politiknya, sosok Anies yang dalam penempatannya di formasi kabinet Jokowi-JK sebagai menteri pendidikan pun berkat rekomendasi dari jalur JK ketimbang Jokowi. Seperti halnya juga Yudi Chrisnandi, Ferry Mursidan Baldan dan Sudirman Said.
Maka ketika pada akhirnya keempat menteri gerbongnya JK tersebut terkena reshuffle Jokowi, pencopotan Anies lah yang sempat membuat JK terpukul. Maka itu, ketika akhirnya Anies berhasil dimunculkan sebagai gubernur Jakarta menggantikan Ahok, JK serasa menemunkan kembali kekuatan dan performa politiknya menghadapi Jokowi dan Megawati.
Menyadari konstelasi seperti itu, barang tentu hal ini dibaca juga oleh Megawati dan para penasehat strategisnya. Bagaimana caranya mematikan inisiatif politik JK agar tidak bisa memainkan kartu politiknya melalui koalisi tiga partai tadi maupun dalam memainkan sosok Anas untuk dibawa ke meja percaturan politik istana.
Ketika JK menyadari implikasi dari manuver dadakan Mega dan PDIP dalam penyapresan PDIP melalui forum Rakernas PDIP, ada dua opsi di hadapan JK. Tetap pasrah terima nasib dan ikut arus apa yang terjadi ke depan. Atau sebaliknya, keluar dari skema persekutuan politik Jokowi-Mega. Dan menyusun formasi politik baru di luar skema Jokowi-Mega. Meski JK menuadari bahwa jika keluar dari skema kerjasama dengan Mega dan Jokowi maka JK belum tentu bisa mengarahkan dinamika politiknyang berlangsung nanti, mengingat dirinya harus bersekutu dengan para pemain lain di luar skema Mega-Jokowi-PDIP.
Kalau opsi ini yang digunakan, maka Prabowo kiranya merupakan prioritas untuk digalang dalam sebuah persekutuan baru untuk 2019. Berarti, dalam memainkan kartu politik Anies pun, harus ada perubahan skenario. Kalaui tetap dalam skema kerjasama dengan Jokowi-Mega, sebagai orang yang merasa ikut memotori pencalonan Anies sebagai gubernur Jaksrta. Jk bermaksud memainkan Anies sebagai alat tawar buat kepentingannya sendiri pada 2019 nanti. Artinya, sebagai alat tekan agar agenda-agenda strategis JK disetujui Mega, terlepas nantinya JK tetap jadi Wapres atau orang lain, skema JK tetap diamankan melalui figur wapres baru pendamping Jokowi.
Namun ketika manuver mendadak Mega nyapreskan Jokowi. Maka betbagai elemen internal PDIP termasuk JK berkut koalisi parpol yang melekat pada dirinya(PKB.NASDEM DAN HANURA). tiba tiba mati langkah. Maka ketika pemnbentukan formasi baru akhirnya dijadikan opsi JK, maka kartu politik Anies harus dimainkan dengan skenario yang berbeda.
Misal, dengan mengondisikan Anies untuk diterjunkan dalam pentas Pilpres 2019 sebagai calon wapres atau malah mungkin capres. Pada tataran ini, kesepakatan strategis JK dengan Prabowo yang mana melalui partai Gerindra lah duet Anies-Sandi bisa terwujud, menjadi kurusial dan menentukan.
Bagaimana dengan koalisi Nasdem-Hanura-PKB yang melekat dengan diri JK sejak awal Pilpres 2014? Bukan perkara sulit. Sebab ketiga parpol tersebut cenderung mengikuti gerak politik JK. Apalagi JK, Surya Paloh dan Wiranto sejatinya merupakan sekutu lama sejak dulu.
Ironisnya Golkar, yang merupakan habitat dan basis politik JK, saat ini tidak sepenuhnya dalam kendali dirinya. Ini menarik. Karena dampak ikutanya juga bisa mengimbas pada Golkar. Meski Airlanga sebagai Ketua Umum partai beringin juga atas restu JK. namun hal itu mrrupakan buah kesepakatan taktis antara JK dengan Ginandjar Kartasasmita, Luhut Panjaitan,dan Aburizal Bakrie.
Konstelasi internal Golkar semakin rumit dan terjal ketika Sekjen Golkar Loedewik sejatinya merupakan orang titipannya Hendropriyono dan orang dekat Kepala Kantor Staf Presiden Jendral (purn) Moeldoko. Yang ini berarti, ada berbagai kekuatan yang mana kubu pendukung Ketua Umum Airlangga pun harus berbagi kekuasaan dengan kubu Hendropriyono dan Moeldoko. Artinya. Golkar pun yang notabene merupakan basis dan habitat JK. Kali ini bukan medan yang sepenuhnya dia kuasai.
Menurur saya. Satu satunya opsi JK yang masih terbuka. Mrndorong formasj baru atas dasar skema kerjasama Prabowo-Anis. Itu salah satu opsi yang masuk akal.
Atau ada satu lagi opsi. JK dan Prabowo sama sama sepakar jadi king maker memunculkan sosok sosok baru yang berkualitas dan berintegritas tinggi sebagai pimpinan nasional.
Membaca manuver Mega dan PDIP kali ini, sepertinya ada power game yang nampaknya bertumpu pada pirinsip permainan Ceki Nokang. Apapun hasilnya nanti, kemenangan ada di tangan jaringan politik yang saat ini bermain. Kalau Jokowi menang, memang itulah harapannya. Namun jika implikasi dari manuver percepatan penyampresan Jokowi ini mengalami komplikasi dan blunder, sehingga malah memunculkan sebuah formasi politik baru di di luar skema Jokowi-Mega, jaringan ini pun akan pegang kendali politik.
Maka itu, meskipun Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan hadir pada rakernas PDIP tersebut, saya tidak percaya jika dia lah sang perancang skenario percepatan penyapresan Jokowi oleh PDIP.
Skenario percepatan penyapresan Jokowi, sepertinya didasari skenario permainan dua sisi. Jokowi karam atau terpilih kembali, kartel politik di balik itulah yang merupakan pemenang sesungguhnya. Hal ini sudah bisa ditelisik jejaknya melalui kemenangan Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar. Airlangga merupakan buah dari kesepakatan bersama antara Ginandjar Kartasasmita, JK, Aburizal Bakrie dan Akbar Tanjung. Merekalah para patron politik Golkar.
Pada sisi lain, kesepakatan JK dengan Ginandjar, membawa implikasi semakin solidnya kerjasama di lapisan bawahnya. Antara Arifin Panigoro, Luhut Panjaitan, maupun koalisi yang terbangun melalui Partai Amanat Nasional (PAN), PKS, dan Gerindra. Sedangkan di PDIP koneksitas kartel politik ini terjalin melalui Pramono Anung, Sekretaris Kabinet Presiden Jokowi. Skema kartel politik ini bermarkas di tempat yang sama, Wisma Bakrie sejak menjelang Pilpres 2014.
Maka ketika JK pada akhirnya dipaksa oleh keadaan untuk membangun formasi politik baru di luar skema Jokowi-Mega, maka aliansi strategis JK-Ginandjar kiranya akan tetap jadi acuan dan tuntunan untuk gerak politiknya.
Inilah skenario permainan dua sisi yang agaknya internal PDIP maupun lingkar dalam istana pun belum tentu menyadari implikasinya ke depan.
Hendrajit, redaktur senior.