Jakarta, Aktual.com — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengklaim bahwa pembangunan kilang di Blok Masela, Maluku akan lebih hemat jika menggunakan fasilitas pengolahan LNG terapung (floating LNG/FLNG) lebih hemat ketimbang menggunakan fasilitas pipanisasi sebagaimana yang diinginkan oleh Menko bidang Kemaritiman Rizal Ramli.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi menjelaskan, jika kilang dibangun di darat dengan pipa (offshore) seperti yang dikehendaki Rizal Ramli, sedianya akan tetap menggunakan kapal seperti menggunakan fasilitas FLNG (onshore). Pasalnya, yang dibangun di darat hanya sebatas pengolahan LNG (LNG plant) sementara sumber gas tetap ada di laut.
“Jadi dari sumur, dikumpulkan kemudian naik ke kapal. Walaupun istilahnya onshore, tetap perlu kapal. Jadi konfigurasi yang disebut onshore tetap ada kapal juga,” kata Amien dalam konferensi persnya di kantor Ditjen Kelistrikan, Jakarta, Rabu (23/9).
Ia melanjutkan, dilihat dari aspek keekonomian, dibutuhkan total investasi sebesar USD19,3 miliar untuk membangun kilang menggunakan fasilitas pipanisasi. Sementara dengan sistem offshore justru akan lebih minim menjadi sekitar USD14,8 miliar.
“Karena dalam rekomendasi SKK Migas itu yang floating LNG atau offshore. Mungkin di sana (Rizal Ramli) punya hitungan lain,” imbuh dia.
Sementara waktu yang dibutuhkan untuk membangun kilang dengan fasilitas onshore dan offshore tidak berbeda jauh. Kedianya membutuhkan waktu sekitar 45 hingga 50 bulan sebelum kilang berproduksi.
Dikatakannya, fasilitas onshore juga memiliki risiko tersendiri, mulai dari aspek Amdal, pembebasan lahan, hingga aspek sosialnya.
“Kalau dari engineering timingnya enggak jauh berbeda. Tapi kalau bangun di darat, aspek amdal, lahan, sosial akan berbeda dengan floating. Ini yang risikonya berbeda, kalau pembebasan tanah berlarut-larut onshore akan terealisasi lama,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka