Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi politik asal UGM, Revrisond Baswier mengaku senang dengan data-data yang disuguhkan oleh program pengampunan pajak (tax amnesty).
Apalagi dari sisi dana deklarasi telah dicapai angka Rp3.600-an triliun. Yang berarti ke depan akan semakin kuat basis pajak (tax bases) yang dikantongi pemerintah.
“Namun kalau kita baca secara hati-hati, terutama ketika dibandingkan antara capaian tax amnesty dengan tax ratio (rasio pajak), ternyata semakin kecil ratio akan semakin tinggi dana yang dicapai tax amnesty-nya,” ungkap dia di diskusi yang digelar GMNI, di Jakarta, Kamis (6/10).
Saat ini, kata dia, tax ratio cuma sebesar 12 persen. Target pemerintahan Joko Widodo sendiri bisa menggenjot tax ratio hingga 16 persen. Jadi memang masih cukup jauh.
“Tapi ya itu tadi, jika kita baca angka-angka itu secara pelan-pelan, berarti selama ini pemerintah tak melakukan kerja apa-apa di sektor perpajakan. Jadi itu menunjukkan, bahwa selama ini betapa tidak efektifnya sistem perpajakan kita,” ungkap Revrisond.
Dia pun menyindir pemerintah, dengan tax ratio yang rendah jika ke depannya mau banyak tax bases dan penerimaan tinggi, tidak diberlakukan saja program tax amnesty.
“Katanya tax amnesty ini hasilnya bagus. Dan yang tertinggi, bisa memecahkan rekor dunia. Ya sudah, kalau mau tax ratio besar, jalankan tax amensty setiap tahun saja,” sindirnya.
Namun intinya, kata dia, dengan bahasa yang lebih sopan, maka saat ini yang menjadi PR besar dan dibutuhkan masyarakat adalah, dilakukannya reformasi sistem perpajakan.
“Itu PR paling besar. Kalau itu tak bisa bereskan (reformasi pajak), waduh bahaya. Karena bank tak bisa dikendalikan, negara duitnya pas-pasan, utang menumpuk, tapi sistem perpajakan masih amburadul,” cetusnya.
Apalagi memang, kata dia, kendati angka tax amnesty ini besar, jika dilihat komposisinya tetap terasa ganjil. Pasalnya, saat sosialisais tax amnesty di awal-awal, pemerintah selalu menyebutkan ingin nguber duit di luar negeri. Cuma dari fakta yang ada, sangat disayangkan.
“Ternyata deklarasi yang besar itu ada di dalam negeri. Deklarasi luar negeri kecil, apalagi tax amnesty-nya sangat minim,” tegasnya.
Hingga awal periode kedua ini, dari deklarasi dana yang mencapai Rp3.621 triliun, ternyata sebesar Rp2.533 triliun atau sebanyak 70% adalah deklarasi dalam negeri. Sedang deklarasi luar negeri cuma sebesar Rp951 triliun atau sekitar 26%, bahkan dana repatriasinya sangat minim, Rp137 triliun alias 4% dari total deklarasi dari targetnya yang Rp2.000 triliun.
Kondisi tersebut, diakuinya sangat mengerikan. Karena artinya banyak sekali uang di dalam negeri. Apalagi memang uang di dalam negeri yang dideklarasikan itu berupa kas atau setara kas.
“Hampir 60 persen bentuknya kas dan setara kas. Dan lainnya investasi dan surat berharga. Kalu begitu berarti ada di mana? Ya perbankan,” ucap dia.
Sehingga, menurut dia, dengan data tersebut, uang yang banyak itu hanya berputar di sektor perbankan saja. Tidak ada efek turunan ke sektor riil.
“Makanya orang kaya di Indonesia juga mengikuti kapitalisasi keuangan dengan cari uang pakai uang. Beli SUN, saham, dan investasi surat berharga lainnya. Ini jadi PR besar pemerintahan Jokowi,” pungkas Revrisond.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan