Sikap _ngeyel_ bin _ndableg_ itu tetap mereka dekap erat, kendati para ekonom jujur dan waras sudah lama mengkritisi, bahwa menisbahkan utang dengan PDB bukan cuma tidak pas, tapi malah sesat dan menyesatkan.
Semestinya, mengukur utang harus dinisbatkan dengan kemampuan sebuah negara dalam membayar utang, atau _debt to service ratio_ (DSR). Sayangnya, ya itu tadi, Sri dan para pengekornya lebih suka menggunakan patokan versi junjungan asingnya yang melenakan dan menyesatkan. Bagaimana tidak melenakan, kalau seriap saat rakyat benaknya dipompa dengan anggapan utang masih aman karena rasionnya masih jauh dari 60% PDB? Tanpa disadari, tahu-tahu Indonesia sudah masuk _debt trap_, sehingga harus gali lubang tutup jurang.
Tapi sudahlah, memang begitu karakteristik para penganut dan pejuang neolib. Buat mereka, apa saja yang tidak senada apalagi bertabrakan dengan keinginan dan kepentingan IMF dan Bank Dunia sebagai juragannya, pasti bakal ditolak mentah-mentah. Mereka tidak peduli, bahwa kepentingan dan keinginan junjungannya itu sangat merugikan bangsa dan rakyatnya sendiri.
*Prudent dari Hong Kong?!*
Perempuan mantan petinggi IMF dan Bank Dunia juga berulang-ulang mengklaim Pemerintah mengelola utang dengan _prudent_ agar anggaran bisa terjaga kesinambungannya. _Prudent_ apanya, kalau sejumlah indikator penting justru negatif?
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid