Cirebon, Aktual.com – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyebut, putusan dari Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal/IPT) terkait kasus tahun 1965-1966 silam tak perlu ditanggapi.  Apalagi, IPT sendiri adalah bukan pengadilan resmi yang dibentuk oleh berbagai negara, tapi sifatnya hanya partikelir saja.

“Kami (PBNU) tak melihat hal itu (putusan IPT) sebagai sesuatu yang serius. Karena IPT sendiri bukan pengadilan resmi yang didirikan berbagai negara, tapi merupakan pengadilan partikelir,” tandas Ketua Bidang Hukum PBNU, Robikin Emhas, di sela-sela acara Rapat Pleno di Ponpes Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Minggu (24/7).

Menurut Robikin, karena sifatnya yang partikelir itulah maka putusannya tidak memiliki kekuatan mengikat kepada negara dan pihak lain. “Sehingga Indonesia juga tidak terikat pula, tidak ada konsekwensi hukum apa-apa terkait putusan itu. Jadi abaikan saja,” tandas dia.

Pasalnya, jangan sampai masalah ini justru akan mengungkit masa lalu serta bisa mengoyak rasa keadilan itu. Padahal, rekonsiliasi secara alamiah sejauh ini sudah dilakukan berbagai pihak yang terlibat peristiwa 1965.

“Apalagi memang sebagaimana dalam kaidah Islam kedudukan tertinggi dalam hubungan manusia ketika terjadi peristiwa tertentu, maka bukan hanya memaafkan (forgive) tapi juga sekaligus harus dilupakan (forget),” jelas Robikin.

Menurutnya, justru kalau kemudian ada upaya mengungkap kebenaran, dikhawatirkan akan terjadi klaim. Sehingga bisa mengoyak rasa kedamaian, ketentraman. “Kalau kemudian rasa kedamaian itu terkoyak maka tentu saja rasa keadilan masyarakat juga bisa terkoyak,” tuturnya.

Dia menegaskan, jika orang tidak melupakan peristiwa yang dialami, dirinya memperkirakan sulit sekali orang bisa mengikhlaskan apa yang terjadi. Sehingga pada akhirnya tidak tercapailah subtansi dari maaf-memaafkan tersebut.

“Kalau begitu, selesai sampai disitu. Jadi dalam kasus ini perlu bersikap forgive, sekaligus juga forget,” pungkas Robikin.

Seperti diketahui, belum lama ini hasil keputusan final sidang IPT di Den Haag, Belanda menyatakan Indonesia bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965-1966.

Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya, dan kegagalan untuk mencegahnya atau menindak pelakunya, berlangsung sepenuhnya di bawah tanggung jawab Negara Indonesia. (Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka