Jakarta, Aktual.com – Anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Gerindra Moh Nizar Zahro, mendorong agar Presidential Threshold dalam Pemilu 2019 ditiadakan atau 0 persen.
Keputusan tersebut tentunya berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, dilihat dari aspek kontestasi dan partisipasi.
“Dalam aspek kontestasi, merujuk pada calon yang akan dipilih. Sedangkan pada aspek partisipasi merujuk pada masyarakat yang akan memilih,” ujar Nizar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/1).
Dengan demikian, kata dia, maka ketiadaan threshold dalam pemilihan presiden memungkinkan tampilnya banyak figure pasangan capres dan cawapres.
Menurutnya, Aspek kontestasi yang merupakan dimensi demokrasi akan lebih meriah. Persaingannya, juga akan semakin ketat bila muncul banyak pasangan capres-cawapres.
“Akan terlihat juga, adu gagasan yang ditawarkan oleh para kandidat untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Gagasan yang ditawarkannyapun akan lebih beragam. Aspek kontestasi yang demikian itu, dapat mendorong pertumbuhan demokrasi politik ke arah yang lebih baik,” papar Politisi Partai Gerindra ini.
Selain itu, tambah Nizar, bila tidak ada thereshold dalam pilpres dan muncul banyak figure capres-cawapres, maka masyarakat memiliki banyak alternative pilihan. Terlebih lagi, banyaknya figure capres-cawapres sangat sinkron dengan struktur masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
“Dengan artian, nantinya banyak figure capres-cawapres yang tampil bisa menjadi cerminan dari beragamnya masyarakat Indonesia,” tuturnya.
Sementara, bila merujuk pada Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka landasan konstutusional UUD ini tidak mengharuskan adanya besaran persentase untuk presidential threshold (PT).
“Terlebih lagi, adanya putusan dari mahkamah konstitusi yang mengharuskan digelarnya pemilu legislative (pileg) dan pilpres secara serentak, menjadikan aturan presidential threshold lemah secara konstitusional bila dipaksakan. Besarannya seperti sebelumnya yakni 20 persen kursi legislative atau 25 persen suara pileg,” ungkap Legislator asal Madura ini.
Ketika pileg dan pilpres dilakukan secara serentak, sambungnya, maka PT pada pemilu mana yang akan dijadikan acuan.
“Apakah akan di dasarkan pada pileg tahun 2014 untuk pilpres 2019? Padahal hasil pileg 2014, sudah dijadikan dasar dari PT pada pemilihan presiden yang sudah digelar pada tahun 2014 lalu,” tukasnya.
Lagipula, kata Nizar, penentuan PT berdasarkan hasil pemilu sebelumnya (2014) juga dinilai kurang tepat. Karena dalam lima tahun terakhir dari 2014 hingga 2019, bisa saja telah terjadi pergeseran pilihan masyarakat dari satu parpol ke parpol lainnya.
“Karena itulah, ketiadaan PT merupakan keniscayaan bila pileg dan pilpres digelar serentak pada tahun 2019,” pungkasnya.
Nailin In Saroh
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan