Suasana sidang pembacaan putusan uji materi UU ITE yamg diajukan Setya Novanto saat sidang pembacaan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (7/9).

Jakarta, Aktual.com – Terkait dengan kasus suap yang menjerat Patrialis Akbar tampaknya perlu ada evaluasi secara menyeluruh dalam merekrut hakim konstitusi.

Rekam jejak calon hakim konstitusi harus betul-betul diteropong dari berbagai aspek, kata Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS) Ridwan Darmawan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (29/1).

Rekam jejaknya baik dari segi keilmuan, segi kesehatan, maupun “track record” calon, terutama soal asal pejabat negara tersebut harus dievaluasi.

Kalau untuk calon anggota KPU saja disertakan syarat harus bukan lagi anggota partai politik selama 5 tahun, tentu saja hakim MK harus lebih dari itu.

Ridwan menjelaskan bahwa korupsi di dalam hukum international telah masuk dalam kategori kejahatan luar biasa, hostis humanis generis, dan musuh umat manusia. Yang menarik, menurut dia, penangkapan Patrialis ini dilakukan beberapa jam setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara pungujian Undang-Undang Tipikor yang diajukan oleh tujuh PNS dari tujuh provinsi yang berstatus sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi yang mempersoalkan frasa “dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

“MK mengabulkan permohonan mereka dengan menyatakan bahwa unsur kerugian negara dalam penindakan kasus korupsi harus bersifat ‘actual loss’, bukan ‘potential loss’,” ucap Ridwan.

Hal itu jelas makin menghambat upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Lebih menarik lagi, kata dia, putusan MK itu mengoreksi putusan MK sebelumnya yang menyatakan bahwa kerugian negara tidak harus “actual loss” dan putusan tersebut diwarnai “dissenting opinion” oleh empat hakim MK. Selain itu, kata Ridwan, jika Patrialis Akbar terbukti menerima suap, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat luar biasa.

“Peristiwa ini menurut saya malapetaka besar bagi negeri ini, melakukan kejahatan luar biasa, korupsi. Kejahatan tersebut masuk dalam kategori ‘extraordinary crime’. Ini tamparan keras bagi seluruh komponen bangsa, bukan hanya di MK,” kata Ridwan.

Kronologis Penangkapan Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitain mengungkapkan kronologis hasil penangkapan oleh KPK terkait dugaan suap terhadap hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar (PAK).

Dugaan suap itu terkait dengan “judicial review” Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Menurut Basaria, setelah adanya laporan dari masyarakat akan terjadinya suatu tindak pidana korupsi oleh penyelenggara negara, tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT).

Penangkapan itu, kata dia, dilakukan oleh tim KPK, kemudian sebanyak 11 orang diamankan dalam penangkapan itu pada hari Rabu (25/1) sekitar pukul 10.00 sampai 21.30 WIB di tiga lokasi yang berbeda di Jakarta.

Sebanyak 11 orang itu, yakni Patrialis Akbar (PAK) hakim MK, Basuki Hariman (BHR) pihak swasta yang memberikan suap bersama-sama dengan NG Fenny (NGF) yang merupakan karyawan BHR, Kamaludin (KM) dari swasta yang menjadi perantara BHR dari swasta kepada PAK, dan tujuh orang lainnya.

Pada hari Rabu (25/1), KPK mengamankan KM di Lapangan Golf Rawamangun Jakarta Timur, kemudian tim bergerak ke kantor BHR di Sunter Jakarta Utara, lalu mengamankan BHR beserta sekretarisnya dan enam karwayan lainnya.

“BHR ini punya sekitar 20 perusahaan yang bergerak di bidang impor daging, tetapi tidak disebutkan satu per satu di sini, lalu sekitar pukul 21.30 WIB tim bergerak mengamankan PAK. Yang bersangkutan pada saat jam itu berada di pusat perbelanjaan Grand Indonesia Jakarta Pusat bersama dengan seorang wanita,” tuturnya.

Diduga BHR memberikan janji kepada PAK terkait dengan permohonan uji materiil UU Nomor 41 Tahun 2014 dalam rangka pengurusan perkara dimaksud.

“BHR dan NGF melakukan pendekatan kepada PAK melalui KM hal ini dilakukan BHR dan NGR agar bisnis impor daging dapat lebih lancar. Setelah melakukan pembicaraan, PAK menyanggupi membantu agar permohonan uji materiil Nomor 129/PUU-XII/2015 itu dapat dikabulkan MK,” kata Basaria.

PAK diduga menerima hadiah 20.000 dolar AS dan 200.000 dolar Singapura. Dalam kegiatan ini, tim KPK telah mengamankan dokumen pembukuan perusahaan, voucher pembelian mata uang asing, dan draf perkara nomor 129 tersebut.

“Setelah mengamankan 11 orang, KPK melakukan pemeriksaan 1 x 24 jam dan KPK meningkatkan status ke penyidikan dengan penetapan empat orang tersangka,” ucap Basaria.

Tersangka PAK dan KM diduga penerima disangkakan Pasal 12 Huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu menyebut mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

BHR dan NGF diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 6 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 13 UU No. 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu menyebut orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta.

“Sementara untuk tujuh orang lainnya yang turut diamankan saat operasi tangkap tangan saat ini masih berstatus sebagai saksi,” kata Basaria. (ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara