Anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno

Jakarta, aktual.com – Pro-kontra seputar perlu tidaknya Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK) terus bergulir. Partai politik yang tergabung dalam barisan koalisi pendukung pemerintah tetap berpandangan presiden tidak perlu menerbitkan Perppu tersebut.

Salah satunya adalah the ruling party yakni PDIP di DPR, tetap berharap agar Jokowi tidak mengeluarkan Perppu. Partai asal Presiden Jokowi itu menyarankan langkah yang dinilai lebih sehat, yang terbebas dari tarik menarik kepentingan politik.

Hal itu disampaikan oleh Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno. Dia mengatakan, sikap resmi fraksi PDIP menolak Perppu dan menyarankan agar perubahan UU KPK yang baru saja diketok itu dilakukan melalui judicial review atau legislative review (revisi kembali).

“Pandangan resmi kami di fraksi, sebaiknya tetap melalui judicial review dan legislative review. Sedikit memakan waktu tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur hukum, bukan dengan hasil tarik menarik kepentingan politik,” kata Hendrawan kepada wartawan, Selasa (8/10).

Hendrawan kemudian menjelaskan semangat awal merevisi UU KPK yang telah belasan tahun itu. Pada awalnya, kata dia, KPK sebagai lembaga super body dinilai perlu check and balances. Maka dibuat dewan pengawas dengan harapan bisa menjadi penyeimbang.

“Pada awalnya sebenarnya sederhana yaitu harapan agar sebuah lembaga hukum dengan wewenang sangat besar, bahkan disebut sebagai super body, diawasi dengan tata kelola yang sehat (good governance). Itu sebabnya dibuat Dewan Pengawas,” ujar Hendrawan.

“Jadi KPK yang semula pakai sistem single tier (satu lapis) diganti dengan two tiers (dua lapis) agar terjadi proses check and balance secara internal,” imbuhnya.

Menurut politikus senior PDIP ini, sistem two tiers terbukti mampu bertahan berabad-abad dalam menjaga dan menciptakan suatu keseimbangan dalam kewenangan yang besar dan dinilai sebagai tata kelola modern yang bagus.

“Sekarang banyak orang protes tapi belum baca UU revisinya,” tutup Hendrawan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin