Jakarta, Aktual.com – Forum Praktisi Hukum Indonesia (FPHI) meminta informasi rangkap jabatan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dihentikan. Informasi rangkap jabatan yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI bersama organisasi masyarakat disebutnya tidak lebih sebagai politisasi.
“Kami memandang, selain tidak ada regulasi yang dilanggar, sebagaimana juga di swasta maupun di asing, memang diperlukan professional birokrasi sebagai pengawas BUMN,” terang Koordinator FPHI Arief Rachman, dalam keterangan tertulisnya, Senin (22/5).
Diungkapkan, pemerintah menempatkan pejabat eselon I sebagai komisaris di BUMN, dimana pejabat tersebut bertugas menjadi pengawas di perusahaan pelat merah. Masuknya pejabat eselon I ini disebutkan untuk memperkuat dan meningkatkan kinerja BUMN.
Pihaknya menepis anggapan Komisi Ombudsman dan KPK yang membuat kesimpulan akan terjadi conflict of interest antara tugas utama si pejabat di pemerintahan dan di korporasi sebagai komisaris.
“Urusan konflik kepentingan itu kan yang penting profesionalisme. Fungsi utama mereka sebagai komisaris adalah pengawas. Fungsinya adalah menjaga kepentingan pemegang saham. Kepentingan pemegang saham ialah kementerian BUMN yang notabene adalah Pemerintah,” kata Arief.
Dalam konteks yang lain, lanjutnya, jabatan Komisaris yang diemban terkait dengan sinkronisasi antar institusi. Ia mencontohkan Kepala Staf AL menjabat sebagai Komisaris di PT PAL sangat terkait dengan upaya mensinergikan peran PT PAL dalam kaitannya dengan tugas memperkuat pertahanan laut.
Berbeda misalnya jika jabatan komisaris disandang Menteri atau anggota DPR dan pejabat partai politik, sebab aturan yang melarangnya. Di beberapa negara lain seperti Temasek Holdings (BUMN Singapura) dan Khazanah Nasional (BUMN Malaysia) ataupun Lockheed Martin (BUMN AS) juga mempunyai komisaris atau pengawas bahkan Perdana Menteri atau Menteri.
“Berdasarkan kajian atas UU No 39 Tahun 2008 pasal 23 yang menjadi alasan bagi ujaran soal rangkap jabatan komisaris BUMN menurut kami sangat tidak tepat karena pada pasal tersebut, yang menjadi subjek hukumnya adalah pejabat Menteri,” urainya.
Ditambahkan, dalam UU No 32 Tahun 2004 (UU Pemda) ada larangan bagi Bupati/Wakil Bupati dan Anggota DPRD untuk menjabat sebagai Komisaris atau jabatan lain yang dapat menciptakan konflik kepentingan.
“Menurut kami belum ada aturan yang dilanggar dan masih on the track. Pandangan ini kami sampaikan terkait adanya pihak-pihak yang akhir-akhir ini menyampaikan pandangan tentang banyaknya komisaris yang rangkap jabatan. Bagi kami, pandangan ini perlu diluruskan karena aturan terkait hal tersebut sudah cukup jelas,” kata Arief.
FPHI menekankan agar jajaran dewan komisaris tetap fokus dalam mengawasi kinerja direksi dan tidak terpengaruh oleh opini yang dibangun KPK dan Ombudsman serta organisasi masyarakat. Apa yang mengemuka belakangan mengenai rangkap jabatan menurut FPHI terlalu tendensius dan mengarah kepada pembunuhan karakter.
Ketua KPK Agus Rahardjo, di Gedung KPK, Kamis (4/5) lalu mengatakan rangkap jabatan pada pejabat atau penyelenggara negara merupakan fenomena yang patut diwaspadai. Bagi KPK, praktik ini bisa memicu terjadinya konflik kepentingan yang berpotensi korupsi.
“Seseorang dengan dua jabatan pasti akan mengalami benturan kepentingan dari jabatannya. Benturan kepentingan tersebut menjadi akar dari adanya kecurangan yang tentu saja sudah menjadi bagian dari praktik korupsi,” ucapnya.
Dicontohkan, seorang Direktur Jenderal Kementerian merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Dampaknya, praktik konflik kepentingan dalam pemerintahan dapat memengaruhi kinerja dan keputusan yang dibuat oleh seorang pejabat publik.
Konflik kepentingan, kata Agus sebenarnya merupakan situasi yang dapat mengarahkan atau mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang sebagai unsur terjadinya tindak pidana korupsi. Ada lima kenapa rangkap jabatan itu rawan, yakni karena ada hubungan afiliasi, penerimaan gratifikasi, kepemilikan aset dan penggunaan diskresi yang melebihi batas.
Artikel ini ditulis oleh: