Jakarta, Aktual.com — Para pekerja di sektor pertembakauan berharap Rencangan Perundang-Undangan Pertembakauan di tahun ini dapat memasuki pembahasan untuk bisa diundangkan. Padahal, sektor industri hasil tembakau (IHT) memberikan pemasukan terhadap negara dari cukai mencapai 9,5% dari total APBN tiap tahun.

Bahkan di cukai sendiri kontribusi sektor ini mencapai 95 persen. Selain itu, sektor ini juga dapat menyerap jutaan tenaga kerja dari sektor hulu hingga hilir. Ada 6,1 juta petani tembakau yang terlibat dalam industri ini, termasuk buruh, kios, sales dan orang-orang lain yang terlibat di bisnis ini.

“Makanya, penyediaan RUU ini diharapkan bisa menjadi payung hukum bagi industri hasil tembakau,” kata anggota Komisi XI DPR, Muhammad Misbakhun di Jakarta, Kamis (21/1).

Menurut dia, saat ini Indonesia belum mempunyai UU Tembakau. Padahal manfaat ekonomi dari industri ini sangat besar. Apalagi industri ini tahan dari krisis. “Bahkan ekonomi di suatu negara dan daerah akan ter-drive oleh bisnis tembakau ini,” ujar dia.

Selama ini, yang didapat oleh negara memang sangat besar. Kata dia, dari total nilai industri yang mencapai Rp276 triliun, dari sisi pajaknya sebesar Rp23 triliun dengan totak penerimaan negara mencapai Rp154 triliun.

“Bayangkan kita sebagai negara yang sebagai produsen tembakau besar, tapi malah tidak punya UU. Justru dengan UU ini akan melindungi petani dan industri tembakau,” kata dia.

Perlindungan yang dia maksud adalah, RUU ini nantinya dapat melindungi komoditas tembakau asli petani Indonesia. Karena IHT ini dapat menjaga kekayaan plasma nutfah tembakau khas Indonesia dan keberlangsungan olahan produk tembakau sebagai industri yang berbasis local content dan menjaga harmoni kehidupan sosial.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno juga sepakat RUU Pertembakauan ini harus mengakomodir semua kepentingan pelaku IHT dari sektor hulu hingga hilir.

“Tembakau berbeda dengan komoditas-komoditas strategis pertanian lainnya, tembakau belum mendapatkan dukungan dan bantuan yang diperlukan untuk bisa meningkatkan produktivitas,” tegas dia.

Salah satunya adalah terkait dengan inftastruktur di sektor petani tembakau. Selama ini, dengan metode tradisional, petani tembakau di Indonesia hanya mampu memproduksi 0,7 ton per musim. Beda dengan di India, yang mencapai 2,5 ton per musim.

“Di beberapa negara petani tembakau dibarengi dengan teknoligi listrik, sehingga produktivutasnya itu dapat tergenjot. Kita juga seharusnya begitu,” harap dia.

Namun, kata dia, yang menjadi tantangan besar bagi petani rokok adalah terkait dengan tataniaganya. Untuk itu, peran pemerintah melalui UU ini harus hadir mengatur proses tata niaga agar petani tembakau tidak tergilas.

“Selama ini, dari sektor ini yang paling banyak mendulang untung adalah pemerintah sebanyak 65 persen. Sementara petani hanya dapat 6 persen. Sisanya, pabrik, pedagang, pengecer san lainnya,” kata Soeseno.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan