Terlihat Bos PT Agung Sedayu Group, Sugiyanto Kusuma alias Aguan (batik biru) mendatangi KPK yang didampingi oleh kuasa hukumnya, Jakarta, Rabu (13/4/2016). Bos PT Agung Sedayu Group, Sugiyanto Kusuma alias Aguan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap terkait pembahasan dua Rancangan Peraturan Daerah mengenai reklamasi di Teluk Jakarta.

Jakarta, Aktual.com – Chairman PT Agung Sedayu Grup, Sugiyanto Kusuma alias Aguan membenarkan adanya pembicaraan antara dirinya dengan Sunny Tanuwidjaja, staf Gubernur DKI Jakart, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok khusus bidang politik.

Pembicaraan antara Aguan dan Sunny ialah mengenai formulasi tambahan kontribusi Agung Sedayu selaku pengembang reklamasi, terkhusus soal besaran NJOP.

“Saya juga sampaikan kepada Sunny (agar disampaikan ke Ahok). Supaya ketentuan (NJOP) jangan terlalu tinggi. Kalau terlalu tinggi kemudian diturunkan, nanti ada permainan,” ujar Aguan, dalam persidangan mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/7).

Salah satu dalih mengapa Aguan mengeluh kepada Sunny lantaran dia mendapat kabar bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mematok NJOP tambahan kontribusi sebesar Rp20 juta.

“Dia (Pemprov DKI) kasih harga NJOP Rp20 juta per m2, saya bilang itu berlebihan,” jelasnya.

Lebih jauh disampaikan Aguan, keluhan ihwal NJOP ke Sunny karena menganggap kenal lama dengan Ahok. Diakuinya, pertemanan dia dengan Ahok sudah terjalin sebelum Ahok menjadi anggota DPR RI.

“(Kenal) Pak Ahok sebelum beliau jadi Gubernur. Sebelum jadi anggota DPR, kita sering diskusi mengenai politik. Sudah cukup kenal. Aspirasi (untuk proyek reklamasi) biasanya saya sampaikan ke Pak Sunny, kemudian dia sampaikan ke Pak Ahok,” pungkasnya.

Masalah tambahan kontribusi ini memang menjadi polemik antara DPRD DKI dengan Pemprov setempat. Dugaannya, hal ini jadi ‘mainan’ pihak-pihak terkait melakukan praktik korupsi.

Dijelaskan Ahok saat jadi saksi sidang Ariesman, pencantuman tambahan kontribusi merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 serta perjanjain kerja sama antara PT Manggal Krida Yudha dengan Pemprov DKI pada 1997 silam.

Yang kemudian ditafsirkan oleh Ahok untuk membuat perjanjian kerja sama dengan Agung Sedayu dan Agung Podomoro tentang pembayaran di muka tambahan kontribusi.

“Ada dalam Pasal-nya (Keppres Nomor 52 Tahun 1995), untuk mengembangkan reklamasi dengan maksud pengembangan kawasan dan menata daratan. Kalau menata daratan harus ada uangnya. Ini tafsirannya Pak (Jaksa), ini dasar hukumnya,” jelas Ahok, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (25/7).

Tapi, menurut Jaksa KPK Keppres Nomor 52 Tahun 1995, tidak dapat diartikan sebagai dasar hukum untuk meminta pengembang reklamasi membayar tambahan kontribusi.

“Justru yang menarik itu adalah ketika kontribusi dibayar di awal. Dia kan mendasari Pasal 12. Tetapi apa yang disampaikan dalam pasal 12 itu keliru. Pasal 12 itu bukan masalah kontribusi, tapi pembiayaan reklamasi. Pembiayaan itu oleh Pemda dan swasta,” papar Jaksa KPK, Ali Fikri, usai sidang.

Laporan: M Zhacky Kusomo

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby