Pimpinan bersama anggota DPR berfoto bersama seusai mengikuti rapat paripuna di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/8). Paripurna diselenggarakan dengan agenda pembacaan pidato Ketua DPR dalam rangka hari ulang tahun ke-70 DPR RI dan laporan kinerja Tahun Sidang 2014-2015.

Jakarta, Aktual.com — Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) meminta DPR RI tidak bermain dua kaki soal kenaikan tunjangan, dengan bersikap malu tapi mau.

“Fitra menuntut DPR untuk tidak bermain dua kaki, bilang menolak tapi nyatanya mau. Sehingga DPR harus secara resmi menolak kenaikan tunjangan,” tegas Koordinator Advokasi dan Investigasi Seknas Fitra, Apung Widadi, Jumat (18/9).

Sejauh ini Kementerian Keuangan telah menyetujui kenaikan tunjangan DPR sebesar 18-20 persen untuk anggota dan pimpinan alat kelengkapan DPR.

Berdasarkan perhitungan Fitra, dengan kenaikan itu maka anggota biasa akan dapat uang dibawa pulang (take home pay) sebesar Rp57.000.000, untuk wakil ketua alat kelengkapan/komisi DPR Rp59.000.000, serta untuk ketua komisi dan alat kelengkapan mencapai Rp60.500.000.

“Alokasi anggaran ini sudah terlanjur disetujui oleh Pemerintah yaitu Kemenkeu. Namun, menurut kami, tunjangan ini dapat dan harus dibatalkan oleh Pemerintah,” ucap Apung.

Alasan tunjangan harus dibatalkan, antara lain tunjangan tersebut dinilai diusulkan dengan cara diam-diam dan tidak transparan pada pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015.

Padahal, kata dia, DPR periode 2014-2019 baru dilantik. Sehingga, ada kesengajaan menaikan tunjangan DPR sejak awal tanpa memperhatikan hasil kinerja DPR selama ini.

“Dalam hal ini, BURT dan Sekjen paling bertanggungjawab sebagai pengusul kenaikan gaji dan tunjangan,” ujar dia.

Alasan lain kenaikan tunjangan harus dibatalkan yakni kinerja DPR masih rendah, sehingga tidak pantas untuk menuntut kenaikan tunjangan. Terlebih kenaikan tunjangan itu jika direalisasi akan menimbulkan parameter buruk bagi pemerintah.

“Publik curiga ini adalah bentuk tawaran transaksional kebijakan anggaran oleh Menkeu agar ketika pemerintah tunjangannya naik maka fungsi pengawasan DPR akan dilemahkan,” tutur dia.

Presiden Jokowi secara tegas mengatakan malu serta menolak tunjangan pejabat dan DPR. Oleh karena itu, Menkeu sebagai pembantu presiden harus membatalkan kenaikan gaji untuk DPR.

“Menkeu perlu introspeksi diri, jangan obral remunerasi. Contoh terdekat adalah ketika tahun ini ada tunjangan untuk pegawai pajak mencapai Rp4,5 triliun, namun faktanya target pajak belum tercapai hingga september ini dan bahkan diproyeksikan sendiri oleh Menkeu tidak terpenuhi, hingga akhirnya asumsi defisit negara mencapai Rp270 triliun dari target awal hanya Rp220 triliun,” kata dia.

Menteri Keuangan dituntut segera melaksanakan perintah presiden dengan membatalkan tunjangan DPR karena tidak sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini yang sedang melemah.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang