Jakarta, Aktual.com – Pengamat dari Universitas Bung Karno (UBK), Gede Sandra menyatakan bahwa sudah waktunya pemerintah meninggalkan rumus-rumus Bank Dunia yang kerap dengan penumpukan utang, pengetatan anggaran, dan perburuan pajak.
Dia mengingatkan bahwa rasio pembayaran utang (debt service) terhadap ekspor Indonesia saat ini sudah di lampu kuning (39%), jauh di atas batas aman sebesar 25%.
“Pengetatan anggaran yang menjadi ciri khas Bank Duni, diterapkan oleh pemerintah saat ini. Pemotongan anggaran untuk efisiensi memang bagus, tapi bukan untuk memotong program-program yang mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pada saat ingin ekonomi bertumbuh cepat, pajak seharusnya dilonggarkan. Nanti, bila ekonomi sudah kencang, baru pajak dapat kembali dikejar,” kata dia secara tertulis, Sabtu (16/12).
Utuk diketahui lanjutnya, beberapa hari lalu (13/12) Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memproyeksikan, pertumbuhan rata-rata negara berkembang di kawasan Asia tahun ini berada di kisaran 6%. Lebih lagi, dengan mengeluarkan negara-negara Asia yang maju industrinya, pertumbuhan rata-rata naik ke 6,5% di tahun 2017.
Indonesia, yang selalu membanggakan diri karena keanggotaannya di negara G20, ternyata pada kuartal ketiga tahun ini, pertumbuhannya di bawah rata-rata Asia (Asia Tenggara sebesar 5,2%). Pada kuartal ketiga, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,06%, masih 1%-1,5% di bawah pertumbuhan rata-rata Asia.
“Sebenarnya, ada solusi-solusi untuk Indonesia agar perekonomiannya dapat atau setidaknya menyamai laju rata-rata negara Asia, yaitu di kisaran 6,5%. Ekonom senior yang juga Menteri Koordinator Perekonomian era pemerintahan Gus Dur, Rizal Ramli, dalam berbagai kesempatan menyebutkan, setidaknya terdapat empat pompa untuk mencapainya,” ujar dia.
Pertama paparnya; pompa fiskal non-APBN (budget). Budget negara sebaiknya memang hanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur di luar pulau Jawa. Selaras dengan semangat Presiden tentang Indonesia-sentris. Sementara, untuk pembangunan infrastruktur di pulau Jawa, karena daya beli masyarakatnya yang sudah tinggi, sebaiknya menggunakan pola pembiayaan yang non-APBN.
“Pola –pola pembiayaan seperti revaluasi aset, sekuritisasi aset, Build Operate Transfer (BOT), dan Build Operate Own (BOO), sebaiknya lebih diprioritaskan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dan proyek di Jawa. Sebagai contoh, hasil dari revaluasi aset tahun 2016, yang dilakukan secara parsial (dari total 118 BUMN, baru 79 BUMN yang melakukan revaluasi aset) oleh Pemerintah, berhasil menambah nilai aset BUMN Rp845 triliun. Akibatnya, pendapatan pajak (4%) Negara dari revaluasi aset mencapai Rp33,8 triliun. Seandainya 118 BUMN yang lakukan revaluasi, aset BUMN akan bertambah Rp 2500-an triliun, dengan menghasilkan pendapatan pajak lebih dari Rp100 triliun,” imbuhnya.
Kedua, lanjutnya, pompa kredit. Menurut Data Bank Indonesia (BI) kredit perbankan pada Oktober 2017 baru bertumbuh sebesar 8%. Untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6,5%, pertumbuhan kredit harus berkisar antara 15% hingga 17% pertahun. Alokasi kreditnya pun harus lebih fokus kepada kelompok pengusaha menengah yang akan tumbuh, bukan kepada pengusaha besar (yang infonya sekarang sedang jenuh dengan kredit). Ini juga demi memperbaiki ketimpangan struktur ekonomi Indonesia seperti “gelas anggur” (penjelasan: 100-an keluarga pengusaha terkaya terlalu gemuk seperti cawan gelas anggur, sementara lapisan pengusaha menengahnya sangat kurus setipis gelas anggur).
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka