Petugas mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite ke dalam mobil tanki BBM untuk didistribusikan ke sejumlah SPBU di wilayah Jawa Timur di Terminal BBM Pertamina Surabaya Group, Surabaya, Jatim, Selasa (10/11). PT Pertamina (Persero) menyebutkan realisasi penjualan BBM jenis Pertalite secara nasional sejak akhir Juli hingga Oktober 2015 telah mencapai 178,23 juta liter, dengan pencapaian outlet Pertalite mencapai 1.642 SPBU dari target 1.920 SPBU pada akhir tahun. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/15.

Jakarta, Aktual.com — Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menyebutkan, di tengah penurunan harga minyak mentah dunia yang terus terjun bebas, semestinya harga bahan bakar minyak (BBM) baik premium maupun solar bersubsidi yang dijual PT Pertamina (Persero) juga diturunkan harganya.

Jika langkah itu tidak direspon cepat oleh pemerintah, maka ini bukti pemerintah kurang sensitif. Padahal ia juga mengakui, beberapa BBM seperti solar yang dijual perusahaan swasta justru lebih murah dari yang dijual Pertamina.

“Untuk solar subsidi itu memang harga itu ditetapkan pemerintah, bukan Pertamina. Akibatnya harga tidak akan turun sepanjang pemerintah belum menurunkan harganya. Ini pemerintah kurang peka,” kata dia kepada wartawan, Jumat (22/1).

Sementara, ia juga mengakui, harga solar di perusahaan swasta sangat mungkin sekali ketika harga pasar sedang anjlok. “Solar yang dijual perusahaan swasta ke industri itu mengacu pada mekanisme pasar. Sehingga pas harga minyak turun harga solar industri juga turun,” kata dia.

Saat disinggung, apakah ulah pemerintah dan Pertamina belum menurunkan BBM subsidi terutama solar ada permainan di antara mereka. Komaidi tidak berani memastikan secara pasti.

“Saya tidak tahu pasti, apakah hal ini ada permainan Pemerintah-Pertamina? Tapi memang mestinya harga BBM subsidi disesuaikan juga. Kalau tidak, ada apa ini? Bisa jadi tanda tanya besar,” tegas dia.

Ketika ditanya soal berapa harga pas untuk BBM solar saat ini, Komaidi juga belum melakukan kalkulasi itu. Kata dia, penentuan harga BBM itu ada komponen pajak (PPN & PBBKB) dan alphanya.

“Mengingat data alpha bbmnya saya blm punya, jadi saya belum bisa memberikan hitungan wajarnya,” kata dia.

“Untuk PPN 10 %, PBBKB 5% dan alpha BBM disepakati antara pemerintah dan DPR saat pembahasan APBN. Sehingga harga dinamis tergantung alpha per liternya berapa,” imbuhnya.

Berdasar hitungan Aktual.com, saat ini harga Means of Platts Singapore (MOPS) untuk jenis solar sudah menyentuh harga USD40 per barel, yang artinya jika dirupiahkan dan diliterkan, harga keekonomian solar berdasarkan MOPS adalah Rp3.500/liter (belum termasuk biaya pengangkutan dan pajak).

Jika dihitung ongkos kirim katakanlah USD3 per barel (Rp300/liter) dan PPN 10% (Rp380/liter) ditambah PBKB 5% (Rp190/liter) maka semestinya harga solar non subsidi di Indonesia berkisar di harga Rp4.370-Rp4.500 per liter. Tapi kenyataannya harga Solar subsidi sampai saat ini Rp5.750 per liternya (Harga keekonomian: Rp6.750 per liter). Jadi ada selisih harga Rp2.380 dari harga keekonomian (selisih Rp1.380 dari harga subsidi).

Direktur PT AKR Corporindo Tbk, Suresh Vembu ketiks dihubungi Aktusl.com belum juga merespon ketika diminta konfirmasi data penjualan solar ke industri saat ini. Namun pada Agustus 2015, emiten ini saat itu menjual solar industri di level Rp6.400 per liter, artinya lebih murah Rp500 per liter dari solar subsidi di SPBU yang dijual dengan harga Rp6.900 per liter.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan