Jakarta, Aktual.com — Fenomena harga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang dijual perusahaan swasta untuk kalangan industri yang lebih murah dari BBM solar bersubsidi di SPBU masih berlanjut. Padahal kondisi saat ini, ketika harga minyak mentah dunia terus anjlok, pemerintah seharusnya cepat merevisi harganya.
“Pemerintah salah menetapkan harga BBM subsidi setiap 3 bulanan. Padahal penurnan harga (minyak dunia) begitu dinamis. Terjadi setiap hari. Kalau begitu, mana keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil,” tegas pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi ketika dihubungi Aktual.com, Senin (25/1).
Seperti diketahui, harga BBM jenis solar yang dijual oleh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik PT Pertamina (Persero) memang lebih mahal dari yang dijual perusahaan swasta untuk kalangan industri. Salah satunya yang dijual PT AKR Corporindo Tbk.
Berdasar hitungan Aktual.com, saat ini harga Means of Platts Singapore (MOPS) untuk jenis solar sudah menyentuh harga di bawah US$40 per barel, yang artinya jika dirupiahkan dan diliterkan, harga keekonomian solar berdasarkan MOPS adalah Rp3.500/liter (belum termasuk biaya pengangkutan dan pajak).
Jika dihitung ongkos kirim katakanlah US$3 per barel (Rp300/liter) dan PPN 10% (Rp380/liter) ditambah PBKB 5% (Rp190/liter) maka semestinya harga solar non subsidi di Indonesia berkisar di harga Rp4.370-Rp4.500 per liter. Tapi kenyataannya harga Solar subsidi sampai saat ini Rp5.750 per liternya (Harga keekonomian: Rp6.750 per liter). Jadi ada selisih harga Rp2.380 dari harga keekonomian (selisih Rp1.380 dari harga subsidi).
Menurut Redi, saat ini, harga pasar minyak dunia sedang anjlok. Namun kelihatannya, pemerintah malah setengah hati melakukan kebijakan penurunan BBM bersubsidi ini. “Bahkan terkesan mereka (pemerintah) ogah menurunkannya. Mestinya dengan kondisi (penurunan) saat ini, pemerintah konsisten menurunkan harganya per bulan atau per dua pekan,” papar dia.
Dengan kondisi demikian, menimbul banyak pertanyaan, apa yang terjadi di Pertamina, sehingga tetap menjual dengan harga tinggi? “Ini ada apa? Justru ini menjadi persoalan besar. Apakah ada permainan di Pertamina? Ini tentu mecurigakan,” tuding dia.
Apalagi kebijakan pemerintah yang lain yang dilakukan pemerintah juga relatif tidak bergaung. Sebab dengan kondisi minyak dunia yang terus anjlok, Pertamina bisa saja untung besar. Namun faktanya tidak ada terobosan berarti. “Bahkan tidak ada upaya dari pemerintan untuk membangun kilang minyak baru. Sementara Pertamina bisa untung besar,” tegas Redi.
Pasalnya, berdasar data, kata dia, saat ini antara temuan dan konsumsi BBM di masyarakaf masih defisit sebesar 40 persen. Mestinya bisa seimbang. Jika konsumsi tinggi maka banyak juga ditemukan sumur-sumur minyak baru.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan