Bagi warga Jawa Barat, nama tokoh satu in sudah tidak asing lagi. Dialah Solihin Gautama Purwanegara atau Mang Ihin. Solihin GP adalah Gubernur Jawa Barat periode 1970 – 1974 di zaman Orde Baru, yang dianggap berhasil memimpin Jawa Barat.
Meski tidak persis amat, kepemimpinan Solihin di Jawa Barat mungkin bisa dibandingkan dengan kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, yang pernah memimpin DKI Jakarta. Dua tokoh berlatar belakang militer itu sama-sama berasal dari Jawa Barat. Mang Ihin adalah Gubernur Jawa Barat kedelapan.
Lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 21 Juli 1926, Solihin GP adalah Gubernur yang waktu itu memiliki perhatian besar, untuk mengatasi rawan pangan di wilayah Indramayu, dengan cara memasyarakatkan padi gogo rancah. Upayanya memperlihatkan hasil sehingga terus dikembangkan.
Lahir dalam keluarga bangsawan, Solihin GP dikenal sebagai tokoh yang merakyat. Karier militernya dimulai ketika pecah revolusi, sebagai komandan TKR Bogor, kemudian bergabung ke Kodam Siliwangi.
Solihin termasuk salah satu figur yang sempat dekat dengan Presiden Soeharto. Perkenalan antara dua tokoh ini dimulai saat Soeharto menjabat Presiden RI, dan Solihin menjabat Gubernur Jawa Barat mulai 1970.
Suatu ketika, Presiden Soeharto mengadakan kunjungan bersama Solihin ke pemukiman suku Baduy. Solihin yang memang dikenal spontan, mengajak Soeharto untuk mandi di sungai.
“Mandi di sungai?” Presiden terkejut, tapi tersenyum.
“Iya dong, kita mandi di sungai, Pak. Tidak ada tempat lain,” kata Solihin.
Presiden Soeharto menurut. Mereka kemudian turun dan mandi di sungai. Jongkok, kejebar-kejebur, bahkan buang air segala di sungai itu. Semuanya tanpa pengawalan dan berlangsung aman-aman saja. Selesai mandi dan sarapan, presiden menonton pertunjukan debus yang memperlihatkan kekebalan orang Baduy. Kisah ini dimuat dalam buku tentang Solihin, berjudul “Solihin G.P: Gubernur Rakyat.”
Sayangnya, hubungan Solihin dengan Pak Harto kemudian tidak begitu mulus, setelah Solihin berubah pandangan tentang sosok Pak Harto yang sempat dihormatinya.
Konteksnya, pada saat itu produksi minyak Indonesia sedang tinggi-tingginya. Hal itu membuat Indonesia jadi surplus minyak, dan menyebabkan investasi luar negeri membaik.
“Negara kita saat itu menjadi negara yang banyak uang. Lalu, ketika keuangan negara berlimpah, beliau (Soeharto) mulai berpikir apa yang beliau anggap tidak tepat. Yaitu seolah-olah segalanya bisa dicapai dengan uang,” kata Solihin, seperti dikutip harian Pikiran Rakyat (28 Januari 2008).
Mulailah Solihin merasa memiliki perbedaan pendapat dengan Pak Harto. Di bawah kepemimpinan Soeharto, orang-orang yang punya uang bisa langsung menjadi tokoh, tanpa tahu dari mana asal uangnya.
“Pahamlah saya bahwa kami sudah berbeda pola pikir. Saya yang pernah berpikir bahwa beliau adalah Presiden terbaik, seketika itu juga lalu merasa ia adalah the worst president in the world (presiden terburuk sedunia),” tuturnya.
Ada kisah unik juga tentang hubungan antara Solihin dengan Ali Sadikin (Bang Ali), Gubernur DKI Jakarta. Wilayah DKI berbatasan dengan Jawa Barat, dan antara dua wilayah itu perlu ada kerjasama untuk membangun kawasan. Namun, karena kedekatan dua wilayah itu justru bisa menimbulkan perselisihan.
Ini berawal saat Solihin hendak sowan ke Ali Sadikin di Jakarta. Sebagai Gubernur Jawa Barat yang baru, Mang Ihin merasa perlu berkonsultasi dengan Bang Ali, tentang bagaimana membangun wilayah. Saat Mang Ihin menjadi Gubernur Jawa Barat, Bang Ali sudah empat periode memimpin Jakarta. Prestasi-prestasi Bang Ali membangun Jakarta itulah yang membuat Mang Ihin merasa perlu berkonsultasi.
Nah, saat berbincang-bincang itu Solihin sempat merasa dilecehkan. Dalam buku “Cendramata 80 Tahun Solihin GP” diceritakan, ia tersinggung karena Bang Ali ingin “mengambil” wilayah perbatasan, yang menurut Bang Ali tidak bisa diurus oleh Jawa Barat.
“Jawa Barat tidak bisa melakukan pembangunan, sedangkan saya didesak oleh masyarakat agar memperluas daerah perbatasan antara DKI Jakarta dan Jawa Barat. Untuk itu, agar diikhlaskan saja saya membangun daerah perbatasan itu. Apalagi kan kita sama-sama dilahirkan di Jawa Barat,” kata Bang Ali sambil menunjuk peta Kabupaten Bekasi, Tangerang dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor.
“Wah, ini kurang ajar banget,” kata Solihin dalam hati. Meski merasa dilecehkan, namun Solihin tetap tersenyum. Alih-alih naik pitam, dia justru menyindir balik Bang Ali, kenapa dia tidak sekalian saja menyatukan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
“Kalau Bang Ali ahli strategi yang ulung dan hebat, jadikan saja Jawa Barat dan DKI Jakarta satu provinsi,” sindir Solihin kepada Bang Ali.
Tidak jelas, bagaimana selanjutnya kisah saling sindir itu. Namun, perbincangan itu membawa kebaikan bagi dua provinsi. Baik Solihin maupun Ali Sadikin saling berlomba untuk membangun wilayahnya. Setelah itu, wilayah Jawa Barat tak kalah maju. Industri semen Kaisar dan Tiga Roda dibangun di Bekasi. Kemudian pabrik tekstil di Tangerang.
Masa jabatan Solihin G.P sebagai Gubernur Jawa Barat berakhir pada 14 Februari 1976. Solihin hanya memegang jabatan selama satu periode. Solihin sendiri memang tidak berhasrat meneruskan karena merasa kebijakan-kebijakannya saat menjadi Gubernur tidak direstui oleh Menteri Dalam Negeri kala itu Amir Machmud. ***
Artikel ini ditulis oleh: