Jakarta, Aktual.com – Pengamat sektor minyak dan gas dan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menyatakan bahwa solusi untuk meningkatkan investasi migas di Indonesia adalah dengan membuat regulasi yang benar-benar berkualitas dan diakui di tingkat mancanegara.
“Kata kunci yang perlu menjadi perhatian untuk menghadirkan investasi hulu migas adalah kualitas regulasi berdaya saing global,” kata Pri Agung Rakhmanto dari Reforminer Institute dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat (5/7).
Pri Agung menyatakan, barangkali Indonesia telah banyak melakukan langkah-langkah deregulasi untuk menarik masuknya investasi, tetapi hal tersebut dinilai belum terlalu kompetitif.
Untuk itu, ujar dia, agar dapat menarik semakin banyak eksplorasi, salah satu langkah yang dibutuhkan antara lain adalah meningkatkan fleksibilitas.
Apalagi, lanjutnya, dampak eksplorasi di sektor migas yang paling konkret ke depannya adalah ketahanan energi itu sendiri.
Ia menyarankan, Pemerintah sebaiknya lebih membuka diri kepada investor agar mereka berminat melakukan eksplorasi. Salah satu caranya, bisa saja dengan memberikan opsi skema kontrak yang ada.
“Harusnya kita membuka ruang, tidak terpaku pada pola yang lama. Semisal production sharing contract/PSC konvensional diterapkan, antara eksplorasi dan eksploitasi bisa menjadi kesatuan ataupun dipisah. Esensinya kita harus berani keluar dari pola yang sudah dijalankan saja,” kata Pri Agung.
Pemerintah juga diharapkan tidak banyak menghasilkan kebijakan yang justru berpotensi mengganggu kesepakatan kontrak yang disepakati sebelumnya. Selain itu, dalam menerbitkan kebijakan, Pemerintah perlu memperhatikan apakah hal tersebut akan menarik bagi investor atau justru sebaliknya.
Ia mengingatkan bahwa dalam Laporan Kinerja Ditjen Migas 2018 memang disebutkan bahwa, faktor internal yang mempengaruhi realisasi penandatanganan wilayah kerja migas adalah faktor terms and conditions yang dinilai kurang menarik.
Berdasarkan Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) 2015 – 2050, kebutuhan minyak mentah nasional tercatat terus meningkat. Pada 2025, diproyeksi kebutuhan minyak mencapai sebesar 2,196 juta BOPD dan melesat menjadi 4,619 juta BOPD pada 2050.
Dengan pertumbuhan konsumsi energi seperti itu, maka tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan pasokan energi fosil di Nusantara ke depannya akan tetap menjadi isu sentral.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan