Menurut dia, hal tersebut diharapkan diperhatikan secara serius dalam proses praperadilan itu sehingga kemudian pertimbangan-pertimbangan atau putusan yang dijatuhkan tetap mengacu terhadap Peraturan Mahkamah Agung tersebut.

“Kami juga dapat beberapa penguatan terkait dengan kewenangan penghapusan piutang yang kita duga ada penghapusan piutang di sana jadi masih ada kewajiban sebenarnya namun kemudian Surat Keterangan Lunas (SKL) tetap diberikan pada salah satu obligor dalam hal ini adalah Sjamsul Nursalim, itu yang kami uraikan juga,” ujarnya.

Febri juga menegaskan bahwa objek dari kasus yang KPK lakukan dalam penyidikan kasus ini berbeda dengan objek yang diproses dan kemudian di SP3 oleh Kejaksaan Agung.

“Kenapa ini perlu kami jelaskan? Karena sebelumnya pihak tersangka menyampaikan bahwa itu sebagai salah satu argumentasi bahwa KPK tidak bisa memproses lagi karena itu sudah di SP3 oleh Kejaksaan Agung sehingga bersifat ‘ne bis in idem’ itu juga kami jelaskan,” kata dia.

Febri menyatakan bahwa “ne bis in idem” itu bukan lah dalam proses penyidikan tetapi seseorang tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya jika sudah ada putusan pengadilan.

Selain itu, Febri juga menegaskan bahwa peningkatan status ke penyidikan dalam hal ini terkait Syafruddin Arsyad Tumenggung juga sudah sesuai dengan KUHAP dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Baik minimal dua alat bukti atau pun terkait dengan apakah sudah diperiksa atau tidak calon tersangka pada saat proses penyelidikan, kami sudah melakukan permintaan keterangan terhadap 33 orang, termasuk calon tersangka itu sendiri,” ucap Febri.

KPK telah menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

ant

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby