Kawasan hutan di Indonesia. Aktual/HO

Hutan Indonesia seharusnya menjadi paru-paru dunia dan benteng terakhir kehidupan. Namun di balik hijaunya pepohonan tersimpan luka lama yang tak kunjung sembuh, perambahan kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai.

Di atas kertas negara memiliki aturan tegas, UU Kehutanan No. 41/1999 dan UU P3H No. 18/2013 yang melarang membuka atau menggunakan kawasan hutan tanpa izin pejabat berwenang. Tetapi di lapangan hukum sering kehilangan daya. Dari Jawa hingga Kalimantan, dari Sumatera hingga Sulawesi, perambahan terus terjadi melalui permainan izin dan pembiaran yang sistemik.

Salah satu contoh upaya penegakan hukum yang menonjol datang dari Riau. Pada Juni 2025, Satgas Penanggulangan Perambahan Hutan (PPH) Polda Riau menangkap empat orang yang merambah kawasan hutan lindung di Desa Balung, Kecamatan XIII Koto Kampar.

Keempat tersangka ditangkap saat menggali lahan dan memalsukan dokumen hibah serta surat adat untuk menyamarkan aktivitas mereka. Total lahan yang dirambah mencapai sekitar 60 hektare, di mana 50 hektare sudah ditanami sawit.

Polda Riau menyebut bahwa kasus ini bagian dari strategi Green Policing yang merupakan upaya integrasi langkah preventif, preemptif, dan represif dalam penegakan hukum lingkungan.

Selain itu, sepanjang Januari–Juli 2025, Polda Riau melalui Satgas PPH menangani 44 kasus kejahatan kehutanan dengan luas lahan terdampak sekitar 2.316 hektare (termasuk kebakaran dan perambahan).

Namun, meskipun sudah ada tindakan nyata seperti penangkapan, ancaman hukumannya pun masih menjadi pertaruhan. Para tersangka dalam kasus Kampar dijerat dengan Pasal 78 UU Kehutanan juncto UU Cipta Kerja, dan Pasal 92 UU P3H, yang bisa dikenakan pidana hingga 10 tahun penjara dan denda hingga Rp 7,5 miliar.

Tapi pertanyaannya adalah, apakah penegakan ini akan menyasar aktor intelektual di baliknya, pemodal besar, oknum pejabat, atau jaringan legal yang memfasilitasi pemalsuan dokumen?

Ironi tetap ada, hukum kerap tajam ke bawah, tumpul ke atas. Warga kecil sering menjadi tersangka, sementara korporasi atau pihak yang punya akses politik sulit disentuh. Penegakan yang hanya memproses pelaku lapangan tanpa memperluas jaring ke atas justru memperkuat impunitas.

Perambahan hutan tanpa izin bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia menjadi kejahatan ekologis dengan implikasi lintas generasi. Negara harus memastikan bahwa langkah penindakan nyata seperti di Riau bukan sekadar episodik, melainkan bagian dari kebijakan berkelanjutan, dari patroli rutin, audit izin, kerja sama antarinstansi, hingga transparansi data peta kawasan.

Hutan bukan milik siapa pun yang paling kuat, ia milik generasi mendatang. Jika negara terus membiarkan perambahan dengan penegakan yang setengah hati.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto