Ratusan warga kolong tol Ir. Wiyoto Wiyono Penjaringan yang tergabung dalam Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) ,melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD DKI Jakarta, Jalan. Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (5/4/2016). Dalam aksi warga kolong tol Ir. Wiyoto Wiyono mendesak kepada para anggota DPRD DKI untuk menolak penggusuran dan menolak rumah susun yang berbayar.

Jakarta, Aktual.com – Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dianggap melakukan perusakan ekonomi dan juga budaya dalam kebijakan penggusuran warga miskin.

Sosiolog Musni Umar Ph.d mengatakan, hal itu akibat kebijakan relokasi warga korban gusuran ke rumah susun sewa (rusunawa) yang jauh dari lokasi tempat awal mereka mencari nafkah.

“Jika ditanya tentang penggusuran di Jakarta, saya tetap menyatakan menolak. Karena setiap penggusuran menimbulkan dampak ekonomi dan budaya,” ucap dia, kepada Aktual.com, di Jakarta Selatan, Senin (25/3) malam.

Secara ekonomi, relokasi ke rusunawa terbukti bukan membuat kehidupan warga korban gusuran semakin membaik, namun justru sebaliknya malah semakin memiskinkan. Warga yang tadinya bekerja serabutan yang pendapatannya tidak tetap, tapi harus membayar sewa tiap bulan di rusunawa.

Dia mencontohkan kasus warga gusuran eks Kampung Pulo, Jakarta Timur yang dipindahkan ke rusunawa. Saat ini, ada 38 keluarga yang menunggak sewa dengan jumlah tunggakan dari Rp1,2 juta hingga Rp1,7 juta. Oleh pengelola rusun, mereka ini diminta membuat pernyataan bersedia mengembalikan kunci alias angkat kaki dari rusun kalau sampai bulan Mei tidak melunasi tunggakan.

“Kondisi serupa terjadi di rusunawa lain yang ditempati korban gusuran di Jakarta,” kata dia.

Dimana penghuni rusun yang menunggak sewa kemudian keluar, digantikan orang baru yang bisa jadi korban gusuran juga. “Menurut saya melihat kondisi ini jelas kalau relokasi warga ke rusun sewa bukan solusi,” ucap Musni.

Belum lagi jika dilihat dari aspek budaya. Menurut Musni, warga yang tergusur ini dirusak juga secara budaya. Bayangkan, kata dia, warga yang awalnya nelayan lalu ditempatkan di rusunawa Rawa Bebek yang jauh dari laut. “Ini apa namanya kalau bukan perusakan budaya? Di rusun pun mereka harus adaptasi dari awal dan sebagainya. Padahal itu tidak mudah,” kata dia.

APBD DKI Berlimpah, Tapi Rusun Sewa

Kondisi seperti ini harusnya tidak terjadi di Jakarta. Mengingat APBD DKI jumlahnya sangat besar, jauh melampaui daerah lain. Sehingga harusnya Pemprov DKI bisa menyediakan rusun bagi warga korban gusuran tanpa harus dibebani sewa.

Dia menyarankan Pemprov DKI mencontoh sikap Pemerintah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara yang menyediakan rusun gratis bagi warga korban gusuran yang miskin. “Air pun diberi gratis di sana.”

Menyediakan rusun gratis juga tidak cukup. Menurut dia, Pemprov DKI juga harus memberi jaminan beasiswa bagi anak-anak korban gusuran agar bisa merubah nasib lewat pendidikan. “Sekarang saya tanya, siapa sih yang mau jadi orang miskin? Keadaan yang membuat mereka jadi begitu. Bukan karena keinginan mereka juga untuk tinggal di daerah kumuh biar dapat bantuan seperti tudingan Ahok,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh: