Jakarta, Aktual.com – Sosiolog dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menyarankan pemerintah pusat dan daerah harus bersikap tegas dan kompak untuk aturan terkait prostitusi. Apakah akan melegalkan atau tidak.

Bila ternyata memilih tidak dilegalkan, ujar dia, maka harus disiapkan seperangkat infrastruktur kebijakan makro dan mikro yang tepat.

Pada level makro, kata Devie, pemerintah harus memastikan ketersediaan lapangan kerja atau jaminan sosial. Yang mampu memenuhi kebutuhan standar dasar hidup seperti sandang, pangan, papan dan pendidikan khususnya di kawasan kantong-kantong kemiskinan.

“Hal itu untuk mencegah masyarakat tidak mampu melakukan ‘migrasi sosial’ ke profesi prostitusi,” ujar dia, di Jakarta, Minggu (21/2).

Secara mikro, Devie mengatakan diperlukan pendataan yang komprehensif kemudian dibuat profil, baru intervensi hingga pembuatan identitas baru agar para pelaku prostitusi bisa terbebas dari stigma dan label negatif serta dapat menata ulang kehidupannya.

Menurut Devie, pendatang di kota perlu dikembalikan kepada pemerintah daerah asal yang memang seharusnya membina mereka. Bila semua diserahkan kepada pemerintah perkotaan yang menjadi daerah tujuan, tentu akan memberatkan.

“Jakarta akan ‘kehabisan oksigen’ bila harus melayani seluruh permintaan negeri untuk mencicipi kue ekonomi,” tuturnya.

Devie mengatakan 196 negara di dunia terbelah terkait penanganan prostitusi. Sebanyak 77 negara memilih melegalkan sedangkan sisanya memberlakukan sistem yang sangat ketat terhadap praktik lokalisasi.

Indonesia, bersama Thailand, termasuk yang tidak melegalkan secara hukum. Namun, pada tataran praktik kemasyarakatan, bisnis prostitusi tersedia untuk melayani publik.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara