Jakarta, Aktual.com – Serikat Petani Indonesia (SPI) mengingatkan bahwa langkah kebijakan pengurangan subsidi seperti yang didorong oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dapat menurunkan produktivitas sektor pertanian nasional.
“Aturan WTO tentang pengurangan subsidi yang terus didorong negara maju telah berdampak pada menurunnya produktivitas pertanian dan perikanan akibat tingginya biaya produksi,” kata Sekretaris Umum DPP Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah, Selasa (12/12).
Hal tersebut, lanjutnya, juga mengakibatkan produk impor dapat masuk dengan mudah ke pasar domestik dan menimbulkan berkurangnya penyerapan produk lokal.
Catatan SPI menyebutkan, pada tahun 1995 Indonesia mampu memenuhi konsumsi pasar domestik untuk produk bawang putih sebesar 95 persen dengan total produksi mencapai 279 ribu ton.
Namun saat ini, menurut SPI, Indonesia dinilai hanya mampu memproduksi sebesar 10 persen dari kebutuhan nasional dan selebihnya dipenuhi dari impor negara China dan India.
Ia mengemukakan, sejak Indonesia meratifikasi berbagai kebijakan dalam WTO, kondisi perekonomian negara tidak semakin membaik, antara lain Indonesia yang dahulunya dikenal sebagai negara agraris penghasil produk-produk pertanian bergeser menjadi negara pengimpor sejumlah produk pertanian seperti kedelai, kentang, bawang putih, dan garam.
Untuk itu, ujar dia, keanggotaan Indonesia di WTO pada saat ini dinilai tidak relevan karena hal tersebut dinilai tidak memberi keuntungan khususnya kepada petani, nelayan, dan buruh.
Sebelumnya, lembaga Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan perjanjian perdagangan bebas global tidak memberikan perlindungan kepada petani nasional sehingga sudah seharusnya pemerintah tidak lagi membahas hal tersebut.
“Perjanjian perdagangan bebas dan skema penyelesaian sengketanya di WTO tidak dibuat untuk memberi perlindungan dan keadilan bagi petani Indonesia,” kata Direktur IGJ Rachmi Hertanti.
Menurut Rachmi, indikasi hal itu dapat dilihat dari kekalahan Indonesia di badan banding WTO terkait tudingan Amerika Serikat dan Selandia Baru yang tidak setuju kepada kebijakan pembatasan impor RI.
WTO memutuskan bahwa tindakan Indonesia atas kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya tidak konsisten dengan aturan GATT 1944 mengenai penghilangan hambatan perdagangan global.
“Tentunya kekalahan Indonesia dalam kasus ini akan membawa dampak besar terhadap kebijakan pangan di Indonesia. Penyesuaian kebijakan pangan Indonesia dengan aturan GATT 1994 akan bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan dan merampas kesejahteraan petani,” ujar Rachmi Hertanti.
Ia memaparkan, sesuai aturan WTO, maka Indonesia wajib segera melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya dengan aturan GATT dalam jangka waktu yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jika tidak dilakukan, maka Indonesia harus memberikan kompensasi kepada Selandia Baru dan Amerika Serikat yang besarannya disepakati bersama. Bila tidak tercapai kesepakatan mengenai bentuk atau besaran kompensasi, kedua negara tersebut dapat meminta kepada WTO untuk mengajukan retaliasi atau tindakan balasan terhadap Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka