Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-11 di Buenos Aires, Argentina pada 10 – 13 Desember 2017 mendatang, nampaknya bakal menarik dan mungkin juga cukup heboh. Setiidaknya beberapa negara yang tergabung dalam WTO, termasuk Indonesia yang diwakili oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bakal menggulirkan isu bahwa liberalisasi perdagangan tidak bermanfaat bagi petani kecil. Sehingga lebih baik keluar dari WTO.
Kalau dipikir-pikir pertimbangan agar Indonesia dan beberapa negara lainnya keluar dari WTO memang cukup beralasan. Bayangkan saja. Melalui AoA (Agreement on Agriculture) yang diatur dalam WTO, petani menjadi pihak yang paling dirugikan karena memiliki sumber kapital yang minim. Perannya tergantikan dan tergerus oleh korporasi-korporasi yang memiliki sumber kapital besar, yang perlahan-lahan membentuk skema monopoli. Akibatnya, petani harus menghadapi masalah-masalah pelik seperti perampasan lahan, kriminalisasi, pencemaran lingkungan maupun importasi produk pertanian.
Melalui paparan Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI Agus Ruli Ardiansyah, tergambar bahwa WTO memang paradoks dalam dirinya. Satu sisi, ditegaskan bahwa salah satu tujuan berdirinya WTO adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara anggotanya. Namun pada sisi lainnya, fakta menunjukkan bahwa petani kita semakin miskin: data terakhir menyatakan kemiskinan di desa meningkat hingga 17,10 juta jiwa per Maret 2017.
Sepertinya ini bukan fakta yang main-main. Jangan-jangan justru adanya WTO inilah yang jadi akar dan sumber terjadinya kemiskinan massal di kalangan para petani kecil di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya.
Parahnya lagi,daya beli petani juga tak kunjung meningkat. Nilai Tukar Petani (NTP) mengalami stagnasi dalam dua dekade terakhir–tak lebih dari 102.
Jika dirunut, hal ini karena petani tidak dapat menentukan harga sendiri karena banyak yang tidak bisa bersaing dengan pangan impor. Akibatnya tidak heran petani di Indonesia tidak menjadi pilihan utama pekerjaan masyarakat dan lambat laun menjadi berkurang karena tidak memiliki penghasilan yang dapat dibilang mapan ataupun menjanjikan.
Bukan itu saja. Produk pangan petani kita tidak dapat bersaing dengan produk pangan overproduksi negara maju. Produk-produk pertanian impor dari negara maju kebanyakan harganya sangat murah karena subsidi. Bukti nyata jomplangnya harga bisa dibuktikan dari harga kedelai, susu, jagung, gula, garam, bahkan beras.
Melalui konstruksi fakta ini, terlhat antara kementerian pertanian dan kementerian perdagangan tidak tercipta sinkronisasi dalam kebijakan strategisnya. Bagaimana ceritanya kok sampai ada subsidi bagi produk pertanian impor?
Prospek WTO bagi Indonesia sebenarnya cukup suram sudah. Sekadar kilas balik. Pada 22 Desember 2016 lalu, WTO telah memenangkan gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru terkait dengan kebijakan perlidungan proteksi Indonesia atas produk hortikultura, hewan dan produk-produknya (Horticulture, Animal and Animal Products). Kekalahan dalam kasus gugatan ini pada perkembangannya akan mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan swasembada pangan dan daging.
Seperti ditegaskan Agus Rusli, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI, Kebijakan proteksi jelas menghambat dan melanggar aturan perdagangan bebas yang sudah disyaratkan oleh WTO yang mana Indonesia sudah menjadi anggotanya sejak tahun 1995. Sehingga konsekwensinya, Indonesia dan negara-negara yang terikat aturan proteksi WTO, harus mematuhinya.
Satu lagi isu yang kiranya perlu disorot, dan nampaknya SPI juga cukup prihatin soal ini. Bahwa importasi tidak hanya disebabkan oleh ketidakcukupan jumlah produk dan juga terganggunya distribusi produk tersebut, namun juga karena adanya kewajiban untuk memberi ruang impor setelah negara tersebut menjadi anggota WTO. Produk impor akan bersaing dan menggeser produk-produk lokal, yang selanjutnya berdampak pada menurunnya kesejahteraan petani lokal.
Data SPI yang dipaparkan Agus Rusli cukup miris. Yang dirasakan oleh para petani kentang SPI di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Kentang impor dari Cina dan Pakistan membanjiri pasar-pasar lokal di Jawa Tengah dan Jakarta dan dijual dengan harga lebih murah daripada kentang lokal.
Akibatnya petani mengalami kerugian cukup besar, dan akhirnya menggedor pemerintah dengan melakukan aksi yang melibatkan 3.000-an petani kentang pada 8 Desember 2016 lalu di depan Kantor Kementerian Perdagangan di Jakarta.
Hal senada disampaikan Ketua Departemen Luar Negeri Badan Pelaksana Pusat (BPP) SPI Zainal Arifin Fuad. Ia menegaskan, kedaulatan pangan mustahil tercapai, bila pemerintah Indonesia atau negara mana pun menjadi anggota WTO dan atau terikat dengan rezim perjanjian perdagangan bebas lainnya seperti FTA (Free Trade Agreement), EPA (Economic Partnership Agreement), CEPA (Comprehensive Economic Partnernership Agreement), Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mensyaratkan adanya pasar tunggal ASEAN, hingga RCEP (Regional Comprehensip Partnership Agreement).
Lantas, bagaimana Indonesia menyikapi imperialisme pertanian ala WTO ini? Solusi Zainal Arifin Fuad agaknya cukup radikal juga. Indonesia keluar dari WTO. Ada lima pertimbangan menurut Zainal. Pertama, selama 21 tahun WTO berdiri, ia telah gagal memenuhi tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara anggotanya. Kedua, perundingan WTO tidak demokratis. Ketiga, WTO mengancam hak atas pangan.
Keempat, WTO dan FTA, mengancam sektor pertanian. Kelima, berdasarkan keempat pertimbangan tadi, WTO hakikinya justru menjadi penghambat pembangunan.
Oleh karena itu, Zainal mengingatkan, sudah sangat mendesak bagi pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali, bahkan menolak segala bentuk perjanjian perdagangan bebas, yang justru menghambat kepentingan nasional dalam mencapai kedaulatan pangan.
“Indonesia harus keluar dari mekanisme WTO. Hentikan WTO. Petani kecil butuh perlindungan, insentif dan pasar yang adil untuk kehidupan mereka. Hal ini tidak dimungkinkan dalam WTO, bahkan perjanjian perdagangan bebas lain,” katanya.
Bagi Zainal Arifin Fuad dan beberapa kawannya yang sevisi, nampaknya jauh lebih efektif untuk menggiatkan kerjasama antar organisasi tani satu negara dengan negara lain dan didukung oleh masing-masing pemerintahnya dalam hal pendidikan, pelatihan dan transfer teknologi pertanian, sehingga berbagai organisasi tani dari masing-masing negara tersebut mampu mewujudkan swasembada pangan dan lebih jauh lagi, kedaulatan pangan di negaranya masing-masing.
Kalau SPI serius dengan gagasannya ini, seperti paparan Agus Rusli dan Zainal Arifin Fuad, mendesak Indonesia keluar dari WTO, rasanya menarik juga untuk mengawal arah perkembangan dari KTM WTO 10-13 Desember mendatang. Lepas kita berhasil atau tidak itu soal lain.
Hendrajit, redaktur senior Aktual.

















