Yudi Latif
Yudi Latif

Saudaraku, kita hidup di zaman buih keterapungan. Saat huruf-huruf tak jadi kata; kata tak jadi kalimat. Kalimat tak jadi ayat; ayat tak menjangkau alamat.

Di seantero negeri, ucapan menggelembung mudah pecah tanpa isi yang bisa ditangkap. Makna menguap dalam keriuhan viral maya. Tindakan tersandera di belantara media sosial; kritik teringkus sebatas caci-maki tanpa substansi.

Orang-orang mudah berganti posisi tanpa konsistensi posisi etis. Pusat perhatian lekas bergeser dari suatu isu ke isu lain seperti ikan berebut umpan. Tak ada kesetiaan menggumuli masalah. Persoalan menjadi debu beterbangan yang menghilang sendiri dihempas angin lalu.

Dalam kerumunan nunut hanyut, kesadaran takluk pada sihir kemasan. Jutaan orang tanpa tumpuan rentan terbius hipnotis reka-citra. Frustrasi gelombang hati yang ringkih mudah berserah pada titah mesiah gadungan.

Yang berjaya adalah dusta. Kesejatian ditinggalkan memosil dalam lumpur waktu. Kedalaman dihindari, kedangkalan dirayakan. Kemana saja menghadap, “sampah” berserakan mengguritai wajah negeri. Segala yang inti otektik tenggelam di belam kemasan.

Di zaman gelisah kepalsuan, saat orang terempas tunggang-langgang tanpa jangkar jatidiri, jalan terbaik pulang ke akar. Akar keyakinan yang menumbuhkan pohon harapan.

Bahwa kesenjangan antara impian dan kenyataan bisa dipecahkan dengan menghidupkan Spirit, yang menyatukan pikiran dan hati. Di bawah terang Spirit, katastropi tak perlu terlalu diratapi. Krisis bisa dilihat sebagai derita ibu hamil yang mengandung anak kemajuan.

Selalu ada sisi terang dari gelap. Di tengah lautan kegelapan bisa saja terbit rembulan pandu penerang. Kalaupun tiada purnama, kita bisa menyibakkan kelam dengan menyalakan lentera sendiri.

Satu pijar lentera kecil bisa menuntun langkah di gulita malam. Jutaan lentera serentak menyala, pancarkan gelombang pencerahan.

Daripada mengutuk kegelapan, marilah masing-masing pribadi tetap eling dan waspada, dengan menghidupkan kembali Spirit kasih-sejati yang bisa nyalakan lentera jiwa.

 

Makrifat Pagi, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin