Siapa yang gratisan?

Tapi, sudahlah. Mana Ani paham dengan tetek-bengek kartu kredit semacam itu. Bukannya dia tidak punya kartu kredit. Saya yakin pasti punya. Tapi untuk apa kartu kredit untuk seorang menteri? Lha wong semua pengeluarannya dibiayai negara. Terbang dengan pesawat first class dibayar negara. Menginap di kamar presidential suite yang di Jakarta saja bertarif US$5.000-US$13.000 atau sekitar Rp65 juta hingga Rp170 juta/malam, juga dibayar negara. Padahal Menteri yang satu ini rajin melawat ke Eropa, Amerika, dan negara-negara maju lain yang pasti harga hotelnya jauh lebih mahal lagi.

Rumah tinggal, gratis karena milik negara. Termasuk biaya bulanan untuk listrik, telepon, kebutuhan dapur dan lainnya semuanya gratis tis tis. Mobil yang bagus dan mewah juga dibayar negara. BBM, parkir, tol, bahkan supir pun yang bayar negara. Kalau sakit, berobat atau dirawat, juga dibayari negara. Dengan nyaris semua pengeluaran menteri dibayar oleh negara, kartu kredit memang tidak diperlukan lagi. Kalau pun digunakan, lagi-lagi pasti yang melunasi tagihannya adalah negara.

Jadi, keliru besar saat Ani menuding rakyat Indonesia maunya gratisan karena APBN terus mensubsidi. Jangan lupa, rakyat tetap membayar listrik, membeli gas untuk memasak, membayar biaya kesehatan, dan lainnya. Jadi, ucapan Ani yang menuduh rakyat maunya serba gratisan bukan saja ngawur, tapi juga sangat menyakiti hati. Jauh lebih sakit daripada ada maling berteriak maling…

Sejatinya, perkara subsidi tidak semata-mata soal angka-angka di APBN. Ia adalah wujud keberpihakan negara kepada rakyatnya. Bukankah para pendiri bangsa ketika memerdekakan Indonesia dan membentuk suatu pemerintahan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa? Tujuan mulia inilah yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Lalu, bagaimana kita harus menilai seorang Menkeu yang sibuk memangkas berbagai anggaran, khususnya belanja sosial? Menkeu seperti apakah yang dengan kalap memalaki rakyatnya dengan berbagai pajak? Begitu kalapnya dia, hingga perlu menggandeng Polri untuk mendatangi rumah-rumah rakyatnya yang menunggak pajak kendaraan bermotor, bermaksud menurunkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) menjadi senilai upah minimum provinsi (UMP), dan nyaris mengenakan PPN untuk gula tebu rakyat?

Menkeu seperti apakah yang bernafsu mengintip Rp200 juta simpanan rakyatnya untuk diuber pajaknya? Menkeu bagaimanakah pula yang mengutamakan membayar utang dan tetap tidak mengurangi anggaran pembayaran utang, walau hanya serupiah pun? Bendahara Negara seperti apa yang terus menambah utang baru sehingga jumlahnya jadi amat menakutkan dengan dalih sumber daya alam (SDA) Indonesia berlimpah ruah? Tidakkah dia tahu, bahwa SDA kita saat ini mayoritas sudah dikuasai asing?

Pada akhirnya, kita bertanya, kepada siapakah sesungguhnya pengabdian sang Menkeu diberikan?

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan