Jakarta, Aktual.com — Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mendesak Pemerintah menganggarkan dana stabilitasi pada APBN guna menstabilkan harga BBM di Indonesia.
“Saat ini banyak negara di dunia membuat skema yang tidak melanggar komitmen perdagangan bebas secara internasional dalam menjaga stabilitas harga BBM, dengan memberikan dana stabilitasi harga, sehingga tidak ada salahnya Pemerintah Indonesia juga membuat skema seperti itu,” kata Salamuddin Daeng saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (1/8).
Ia menjelaskan, pemerintah harus mengambil peran kembali dalam menata dan menstabilkan harga energi di dalam negeri. Harga premium yang ditetapkan pemerintah sekarang telah membawa konsekuensi Pertamina yang ditugaskan untuk mendistribusikan premium mengalami kerugian, sejak Januari sampai Juni 2015, Pertamina telah mengalami kerugian sekitar Rp12,2 triliun.
“Jika kerugian ini terus berlanjut maka Pertamina dipastikan akan bangkrut. Pemerintah Jokowi nanti pasti akan dituduh sebagai antek perusahaan minyak asing yang menghancurkan Pertamina secara sistematis, terstruktur dan terencana,” ungkapnya.
Salamuddin menambahkan, dana stabilitasi itu bersumber dari APBN yang dikelola oleh pemerintah, Disediakan dalam jumlah tertentu setiap tahun anggaran, baik disaat harga minyak tinggi maupun rendah. Ukuran besaran dana stabilitasi adalah melihat harga minyak mentah tertinggi dan nilai tukar dolar terhadap rupiah tertinggi.
“Dana ini digunakan untuk menutupi kerugian perusahaan minyak yang ditugaskan pemerintah akibat fluktuasi harga yang tidak wajar seperti sekarang ini. Dana stabilitasi disalurkan pada saat harga minyak mentah atau nilai tukar yang mengalami lonjakan secara tidak wajar sehingga menyebabkan Pertamina merugi. Tetapi jika harga normal dan cenderung wajar maka dana tersebut tetap utuh di tangan pemerintah,” ujarnya.
Dengan demikian, menurut dia, maka harga BBM dapat ditetapkan selama satu tahun anggaran, sehingga Pertamina tidak lagi menanggung kerugian akibat penetapan harga oleh pemerintah, dan setiap kerugian dapat diganti langsung.
Salamuddin menambahkan diera pemerintahan Jokowi pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia pemerintah menugaskan perusahaan Pertamina menjual BBM jenis “Yoyo” yakni jenis BBM yang harganya bisa dinaikkan setiap saat sesuai dengan perkembangan harga pasar.
Sehingga berdampak inflasi tinggi, karena naik turunnya harga BBM faktor utama inflasi tinggi dan daya beli masyarakat menjadi turun. Karena setiap harga BBM naik, harga-harga kebutuhan pokok rakyat meningkat secara serempak, namun sebaliknya setiap harga BBM turun, harga kebutuhan pokok tidak satupun yang mengalami penurunan, katanya.
Sejak dikeluarkan Perpres No. 191/2014, maka BBM jenis premium tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah. Dengan demikian harga BBM dapat ditetapkan setiap bulan sekali atau maksimal dua kali dalam sebulan.
Pemerintah, menurut dia menetapkan harga sesuai analisisnya, kadang-kadang untuk sekedar pencitraan kalau ada kesempatan menurunkan harga BBM.
Pertamina diharuskan menjual BBM sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah itu, sementara pemerintah menetapkan harga dengan “khayalan”, Pertamina menjual BBM “kenyataan”.
Akibatkan harga BBM jenis “Yoyo” pengganti premium tersebut yang ditetapkan pemerintah tidak sama dengan harga “kenyataan”. Akibatnya Pertamina selalu mengalami kerugian, yang hingga kini sudah mencapai Rp12,2 triliun,” kata Salamuddin.
Artikel ini ditulis oleh: