Setelah dicegah ke luar negeri Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaja mendatangi gedung KPK, Jakarta, Rabu (13/4/2016). Kedatangan Sunny Tanuwidjaja diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan pemberian hadiah atau janji terkait pembahasan Raperda tentang Zonasi dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Jakarta, Aktual.com — Tak hanya bos PT Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma atau Aguan, ternyata staf khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaya juga sudah memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (13/4).

Sunny dan Aguan akan digarap sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana pemberian hadiah terkait pembahasan rancangan peraturan daerah Pantai Utara Jakarta.

“Diperiksa untuk Pak Sanusi dan Pak Ariesman,” kata Sunny saat datang ke gedung KPK.

Aguan juga datang ke gedung KPK namun ia tidak berkomentar apapun dan langsung masuk ke ruang steril saksi KPK. Baik Aguan maupun Sunny diketahui sudah dicegah bepergian keluar negeri oleh KPK.

Aguan adalah pimpinan PT Agung Sedayu yang merupakan induk dari PT Kapuk Naga Indah, salah satu dari dua pengembang yang sudah mendapat izin pelaksanaan Reklamasi Teluk Jakarta. Perusahaan lain adalah PT Muara Wisesa Samudera yaitu anak perusahaan Agung Podomoro.

PT Kapuk Naga Indah mendapat jatah reklamasi lima pulau (pulau A, B. C, D, E) dengan luas 1.329 hektar sementara PT Muara Wisesa Samudera mendapat jatah rekalamasi pulau G dengan luas 161 hektar.

Dalam kasus ini, Sunny Tanuwidjaja diduga pernah berkomunikasi dengan Aguan untuk membicarakan kewajiban pengembang reklamsi untuk membayar kontribusi 15 persen dalam raperda tata ruang pantai utara Jakarta, agar kontribusinya diturunkan hingga hanya menjadi 5 persen.

Sebelumnya dalam Peraturan Daerah No 8 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta, hanya diatur kewajiban pembuatan fasilitas sosial dan umum serta kontribusi pengembang seluas 5 persen lahan. Namun saat Basuki menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia menambahkan kontribusi 15 persen lahan sehingga pemerintah DKI Jakarta mendapat uang Rp48,8 triliun.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Arieswan Widjaja dan Personal Assistant PT APL Trinanda Prihantoro sebagai tersangka pemberi suap sebesar Rp2 miliar kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinnsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Kamis (31/3), KPK menemukan barang bukti uang senilai Rp1,14 miliar dari total Rp2 miliar yang sudah diberikan Ariesman meski belum diketahui total “commitment fee” yang diterimma Sanusi. Suap kepada Sanusi diberikan melalui Trinanda Prihantoro.

KPK pun telah mengirimkan surat cegah terhadap lima orang yaitu sekretaris direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Berlian, karyawan PT APL Gerry Prasetya, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Sunny Tanuwidjaya, Direktur Agung Sedayu Group Richard Halim Kusuma dan petinggi Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan Sugianto.

Namun hingga saat ini belum diketahui apakah Sugianto juga ikut menyuap Sanusi atau anggota baleg DPRD lain karena KPK belum menetapkan tersangka lain.

KPK menyangkakan Sanusi berdasarkan sangkaan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai penyelenggara negara yang patut diduga menerima hadiah dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan kepada Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu