Denpasar, Aktual.com – Psikolog Nena Mawar Sari, SPsi, Psikolog, Cht menegaskan bahwa masyarakat harus saling menguatkan satu dengan yang lainnya secara mental agar seseorang tidak mengalami depresi atau trauma saat menjadi korban gempa.
“Saya kira, masyarakat harus memiliki sedikit bekal atau keilmuan tentang bagaimana saling menguatkan secara mental jika melihat orang di sekitar lokasi bencana mulai mimpi buruk, histeris, merasa hampa atau pikiran yang kosong, serta tidak memiliki minat dalam beraktivitas,” katanya di Denpasar, Jumat (17/8).
Menurut psikolog klinis dan hipnoterapis di Poli Psikiatri RSUD Wangaya Kota Denpasar itu, gempa bumi, tanah longsor atau bencana alam lainnya, seperti nyaris tidak pernah absen terjadi di berbagai tempat, apalagi Indonesia yang memang merupakan daerah rawan bencana.
Konsultan psikologi masalah anak dan remaja itu menjelaskan gempa bumi yang terjadi beberapa waktu lalu di Lombok terasa hingga di Bali dan dampak bencana tersebut bukan hanya kerusakan bangunan dan barang, namun juga membuat rasa trauma yang mendalam.
“Kecemasan, ketakutan dan gangguan tidur kerap terjadi pada masyarakat yang mengalami bencana. Kita tidak pernah benar-benar siap secara mental menghadapi bencana, seberapa seringpun kita melakukan simulasi atau membaca tips tentang penanganan bencana,” katanya.
Ia menilai bencana alam selalu memberikan hentakan emosi yang tidak terduga. Kembali lagi bahwa apa yang diciptakan Tuhan tentunya jauh lebih besar dari apa yang diperkirakan oleh manusia.
Karenanya, Nena pun menghimbau agar masyarakat tidak larut dalam kondisi emosional yang terpuruk, melainkan harus kembali menata emosi untuk bangkit dari rasa trauma.
“Pemberdayaan masyarakat setempat oleh tenaga medis, psikolog dan konselor agar mampu menjadi penolong bagi diri mereka sendiri sangat penting dilakukan,” katanya.
Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki sedikit bekal atau keilmuan tentang bagaimana saling menguatkan satu dengan yang lainnya secara mental.
“Jika ketakutan-ketakutan yang dirasakan memberikan gangguan perilaku berupa histeris, merasakan kejadian yang telah terjadi seolah terjadi kembali atau mimpi buruk yang seolah-olah nyata, sehingga orang tersebut berkeringat dan merasa sensasi tercekik, maka bisa saja orang tersebut mengalami ‘post traumatik syndrom disorder’ atau PTSD,” katanya.
Jika seseorang di sekitar lokasi bencana mulai mimpi buruk, histeris, merasa hampa atau pikiran yang kosong, serta tidak memiliki minat dalam beraktivitas sehari-hari, maka seseorang tersebut bisa jadi mengalami depresi. Dan, jika seseorang yang mengalami bencana menjadi cemas setiap saat dan sulit tidur bisa jadi orang tersebut mengalami gangguan cemas.
“Untuk mengatasi keluhan-keluhan psikis yang terjadi itu, perlu saling menguatkan. Caranya, beri perhatian, perlu dukungan keluarga, berpikir dengan mindset positif, dan melakukan kegiatan-kegiatan positif,” katanya.
Ia menambahkan bentuk perhatian yang diberikan bisa didapat dari tenaga medis, psikolog, psikiater atau relawan yang memiliki latar belakang ilmu konseling. “Dapat mendengar keluhan dan kesedihan yang dialami korban bencana adalah obat secara mental agar emosi yang menghimpit dapat memberikan kelegaan setelah bercerita,” katanya.
Contoh hal itu antara lain ditunjukkan pihak TNI dengan mengerahkan kapal rumah sakit KRI dr. Soeharso (SHS)-990 yang antara lain merawat Lulu Nizam, bocah berusia enam tahun asal Desa Gumanatar, Lombok.
Sejak dua minggu lalu, anak kelas 1 SD itu mendapatkan perawatan medis di KRI SHS yang dipimpin oleh Kadiskes Koarmada II Kolonel Laut (K) Andi Abdullah, M.Ts., bersama Tim Kesehatan TNI Angkatan Laut. Anak itu terkena reruntuhan bangunan rumahnya akibat gempa susulan yang terjadi pada malam hari.
“Setelah pulih pascaoperasi, orang tua Lulu Nizam mengucapkan terima kasih kepada para dokter dan perawat TNI Angkatan Laut yang telah memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan putranya itu,” kata Kadispen Koarmada II Letkol Laut (KH) Suratno, S.S.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan