Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin memberikan kesaksian dalam sidang kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat dengan terdakwa Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/5). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan saksi yaitu Muhammad Nazaruddin yang juga merupakan terpidana kasus tersebut. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/17.

Jakarta, Aktual.com Polemik mengenai keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan status justice collaborator (JC) kepada Mohammad Nazaruddin terus berlanjut.

Sejumlah kalangan menilai, sebagai aktor utama dari berbagai tindak pidana korupsi, mantan bendahara partai Demokrat itu tak layak menjadi JC. Apalagi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, tegas dinyatakan bahwa status JC hanya bisa diberikan kepada pelaku minoritas.

Tujuannya agar si pelaku mengungkap pelaku mayoritas alias aktor utama dari kasus ķorupsi tersebut. Oleh karena itu Mahkamah Agung (MA) mengharapkan agar setiap informasi dari JC  dicermati lebih dalam dan tidak diterima mentah-mentah. Apalagi jika status si JC sudah masuk penjara.

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah mengingatkan agar informasi dari mereka yang sudah masuk bui tidak sepenuhnya dipercaya. “Kalau orang sudah masuk (penjara) seperti itu, apakah ucapannya masih bisa dipegang. Itu kan bisa cari teman saja,” ucap Abdullah saat dihubungi wartawan, Selasa (4/10).

Menurut Abdullah setiap penegak hukum memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan setiap informasi, apalagi jika berkaitan dengan kasus korupsi. Namun, dalam menyelidiki informasi, penegak hukum sudah punya ketentuan yang diatur dalam KUHAP.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu