Jakarta, Aktual.com – Bank Indonesia (BI) terus melakukan akselerasi kebijakan dengan menurunkan suku bunga acuan berkali-kali di tahun ini. Mulai dari era BI Rate kini menjadi BI 7 Day Reverse Repo Rate (RRR) yang kembali dilonggarkan. Dan pada bulan ini, BI 7 Day RRR diturunkan 25 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen. Langkah ini dilakukan agar transmisi kebijakan yang direspon industri perbankan bisa lebih cepat.
Namun faktanya, suku bunga acuan ini dampaknya tipis terhadap penurunan suku bunga industri, baik itu suku bunga simpanan, apalagi suku bunga pinjaman.
“Kami mengikuti, paling tidak dari kebijakan moneter yang diambil BI sudah ada penurunan 100 bps. Bukan hanya itu, bahkan GWM (Giro Wajib Minimum) sudah turun 150 bps dari Januari-Agustus 2016 ini,” tutur Gubernur BI, Agus Martowardojo di Jakarta, Kamis, ditulis Jumat (23/9).
Namun demikian, Agus sendiri mengakui, jika di lihat yang terjadi di pasar, penurunan suku bunga deposito memang berjalan relatif baik, karena sudah mencapai 100 bps.
“Tapi penurunan suku bunga kredit itu malah lebih lambat dibanding depositonya. Sampai Agustus baru turun 52 bps,” tegas dia.
Apalagi memang, kata dia, sejauh ini penurunan kredit belum optimal. Makanya BI kembali menurunkan suku bunga acuannya.
“Bagi BI, sangat memperhatikan kondisi perekonomian global. Karena secara umum, kita lihat perekononian global masih belum recover. Kalaupun sudah pun, masih tidak sustainable recovery,” tandas dia.
Sementara kondisi di domestik, kendati laju inflasi dan neraca transaksi berjalan terjaga, akan tetapi laju kredit pertumbuhannya masih terbatas. Hal itu terjadi, antara lain, peran permintaan yang belum optimal.
Ditambah pengaruh pelemahan ekonomi dunia berpengaruh pada laju ekspor nasional. Sehingan kegiatan usaha Indonesia terpengaruh. Akhirnya permintaan kredit juga melemah.
“Yang kita perlu dalami pertumbuhan kredit melemah, meski dalam rupiah cukup, tapi dalam valas (valuta asing) turun tajam. Akibatnya gabungan rupiah dan valas kelihatan terbatas,” ujar diam
Pelemahan laju kredit juga, kata dia, dipengaruhi oleh faktor yang berperan adalah industri perbankan masih banyak yang lebih hati-hati karena rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) masih meningkat.
“Saat ini NPL-nya sedikit peningkatan menjadi 3,2 persen dari yang semula 2,9 persen. Jadi sekarang ini kisarannya 3,2 persen,” keluh Agus.
Lebih jauh, BI juga memprihatinkan laju defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) bisa lebih lebar. Makanya BI pun terus melakukan pelonggaran kebijakan dan konsisten dengan pernyataan bulan sebelumnya.
“Sekarang di triwulan III-2016 lebih besar. Sebelumnya diperkirakan 2,3 persen dari PDB. Sekarang sudah 2,4 persen. Tapi laju setahun BI memperkirakan 2,2 persen dati PDB. Hari kita kembali longgarkan adi 5,25 persen,” pungkas Agus.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka