Yudi Latif
Yudi Latif

Bagaimana bisa kukenali fajar, saat malam berakhir dan siang bermula. Sedang siang-malam sendiri tak mudah lagi dibedakan suasananya.

Hidup terkepung pageblug, hidup monoton jalan di tempat tanpa pembeda peralihan masa. Jam biologis macet, tak bisa memberi tanda kapan saat tidur, kapan saat terjaga. Ritme sirkadian tak karuan; saat berfikir tidur, saat tidur berfikir.

Bagaimana bisa kukenali harapan, saat yang lapuk melayu, yang baru melaju. Sedang tua-muda tak lagi menentu harapan hidupnya.

Hidup tercekik pandemi, hidup absurd menanti giliran jemputan “pulang”. Bisa jadi yang tua lebih rentan menerima panggilan. Namun, yang muda tak tentu siapa bertahan. Ajal bisa seketika menjemput siapa saja secara acak.

Bagaimana bisa kukenali bahagia, saat duka meredup dan gembira merona. Sedang suka-duka tak lagi menorehkan kontras warna di langit jiwa. Terlalu banyak karib-kerabat wafat membuat kepekaan hati mengeras, kurang rasa keharuan. Sementara, pencapaian yang dirayakan sukacita di masa normal terasa hambar di tengah wabah.

Betapapun pandemi telah merenggut begitu banyak, ia pun memberi hadiah berharga sebagai bekal hidup: sadrah-sumarah dengan prasangka baik; ikhtiar dengan tawakal. Seperti kata Goethe, “Siapa yang masih merasa perkasa pertanda masih tersesat.” Kegelapan dan ketakberdayaan hidup karena impitan wabah mengembalikan ingatan pada lupa, agar hidup berjejak di bumi, menempuh jalan lempang.

Wabah korona mengingatkan manusia, ada sesuatu yang lebih besar, lebih kaya, lebih tinggi, lebih hebat dari segala pencapaian diri. Masa pandemi memberi momen tepat berserah diri dengan kesedian berpulang ke jalan harmoni agung; menyatu dengan kosmos lewat aktualisasi hidup baik, benar, adil dan indah dengan penuh kasih dan rendah hati.

 

Makrifat Pagi, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin