(dari kiri ke kanan) Direktur Human Resources PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Muhammad Ali, Direktur Regional Bisnis wilayah Pusat Jawa, Nasri Sebayang, Direktur Utama, Sofyan Basir, Direktur Keuangan, Sarwono Sudarto, Direktur Perecanaaan Perusahaan, Nicke Widyawati berbincang seusai penawarann umum berkelanjutan II Obligasi Berkelanjutan dan Sukuk Ijarah Berkelanjutan dengan target dana yang dihimpun maksimal sebesar Rp 10 triliun di Jakarta, Selasa (6/6). Target dana tersebut terdiri dari Rp 8 triliun untuk Obligasi dan Rp 2 triliun untuk Sukuk Ijarah. PLN akan menggunakan dana hasil penerbitan obligasi dan sukuk, setelah dikurangi biaya biaya emisi untuk memenuhi kebutuhan investasi PLN dalam pembangunan infrastruktur kelistrikan di Indonesia.Hingga akhir tahun 2016, jumlah pelanggan PLN sebanyak 64,3 juta pelanggan, meningkat 5% dibandingkan 2015 yang sebanyak 61,2 juta pelanggan. Pendapatan PLN pada 2016 mencapai Rp 222,8 triliun, tumbuh 2,5% dibandingkan 2015 yang sebesar Rp 217,3 triliun. AKTUAL/Eko S Hilman

Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Hanura, Inas Nasrullah Zubir mengungkapkan kegeramannya kepada kinerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang terus menumpuk utang. Apalagi perilaku utang dari perseroan sendiri sesuai keinginan Direksinya.

Pihak Komisi VI DPR yang bertugas mengawasi kinerja BUMN, malah tak dilibatkan sama sekali untuk menimbang seberapa penting BUMN seperti PLN yang akan menarik banyak utang.

“Ini yang sangat disayangkan. Apalagi, celakanya bahwa tidak ada aturan yang mewajibkan PLN itu untuk minta persetujuan DPR kalau mau menerbitkan surat utang,” tegas Inas, kepada Aktual.com, Jumat (9/6).

Awal pekan ini, PLN sendiri sudah menerbitkan surat utang senilai sebanyak-banyaknya Rp10 triliun yang terbagi dalam obligasi konvensional Rp8 triliun dan sukuk sebanyak Rp2 triliun. Di tahun ini, perseroan akan menarik Rp2 triliun.

“Sangat membahayakan utang PLN ini. Kalau didiamkan bisa gulung tikar ini PLN! Apalagi free cash flow-nya saja sudah minus Rp26 triliun. Ini jelas-jelas membahayakan,” ungkapnya.

Dirinya sendiri, sangat menyayangkan kalau pihak PLN selalu mengklaim rasio utangnya atau debt equity to ratio (DER) masih di bawah 50 persen atau dianggap masih aman.

“Agak mengherankan juga kalau DER dikatakan aman. Karena utang PLN di akhir 2016 saja sudah sangat besar, sekitar kurang lebih Rp393,8 triliun,” jelas dia.

Untuk itu, pihak DPR akan memanggil secepatnya direksi PLN untuk menjelaskan total utangnya tersebut. “Tapi sayangnya, direksi PLN sendiri sangat sulit dihubungi. Seolah-olah ada yang disembunyikan dari komisi VI DPR ini. Kita akan minta hitung-hitungan nanti,” tandas Inas.

Inas juga mengkritisi terkait pencabutan subsidi listrik untuk kapasitas 900 volt ampere (VA), tapi perseroan masih terus berhutang.

“Subsidi 900 VA ada yang dicabut. Faktanya itu memberatkan. Karena masalah data yang diberikan oleh sensus TNP2K sudah benar atau belum datanya. Ini juga sampai sekarang belum transparan. Jangan-jangan ada yang tak mampu tapi dicabut juga,” paparnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan