Ditulis oleh Ab Jalil Backer (Presiden Angkatan Karyawan Nasional/ AKAR)
SEJAK satu dekade lalu, politik nasional (Malaysia) telah menjadi lingkaran setan yang sulit diprediksi dan dapat berubah dalam semalam. Karena itu tak heran, jika popularitas Perdana Menteri Muhyiddin Yassin juga merosot drastis dibandingkan beberapa bulan lalu.
Pada September 2020, Merdeka Center sempat melaporkan hasil riset yang menunjukkan Muhyiddin mendapat dukungan 69 persen responden, dimana pada responden berlatarbelakang Melayu, Muhyiddin mendapat dukungan hampir 90 persen.
Hasil penelitian tersebut sulit dibantah karena sejalan dengan survei umum yang berlangsung di berbagai platform media sosial. Pujian, dukungan, dan panggilan ‘abah’ menjadi trending (populer dan mendapatkan liputan luas) di media sosial.
Popularitas tersebut memang bergantung pada situasi politik dan pengelolaan awal pemerintahan Muhyiddin yang mampu menyentuh hati nurani rakyat. Muhyiddin yang mendapat dukungan dari partai terbesar masyarakat bumiputera: UMNO, Pas dan GPS (Sarawak Party Coalition) dipandang sebagai penyelamat kekisruhan politik tanah air akibat pecahnya Pakatan Harapan (PH).
Dalam situasi di mana negara itu dilanda Covid-19, Muhyiddin muncul untuk menstabilkan institusi politik dan memulai rencana untuk membatasi penularan pandemi yang sangat efektif. Bahkan hingga Malaysia mendapatkan pengakuan internasional. Dengan berbagai bantuan, kesigapan memutus mata rantai Covid-19 dan doa yang diaminkan di seluruh pelosok negeri, Muhyiddin bukan hanya menjadi ‘Abah’, melainkan harapan baru bagi warga Malaysia.
Sayangnya, popularitas itu tidak bertahan lama akibat kelompoknya gagal memahami sentimen masyarakat dan mengelola persaingan politik di pemerintahan. Meski belum ada penelitian terbaru, namun jika melihat tren media sosial, pengaruh dan dukungan terhadap Muhyiddin mungkin hanya tinggal sekitar 40 persen saja. Dari panggilan ‘Abah’ kini menjadi olok-olok populer seperti ‘Abahkau’, ‘Abahcow’ dan hashtag ‘SiBodohKauDengarSini’. Apa yang sebenarnya terjadi?
Menurut saya, kesalahan utama adalah kelompok Muhyiddin gagal memahami bahwa mereka berasal dari partai kecil yang tidak memiliki cukup basis pendukung untuk mengelola persepsi. Mereka gagal mengelola politik di antara sekutu yang membentuk pemerintahan, terutama dengan UMNO.
Benar, Muhyiddin memang bisa menaikkan popularitasnya untuk mengimbangi pengaruh UMNO yang memiliki 3,4 juta anggota. Namun yang harus diingat, anggota UMNO bisa memberikan dukungan kepada partai oposisi jika mereka merasa pemimpin yang ada sudah tidak baik untuk negara.
Sayangnya, persepsi Muhyiddin mau menyingkirkan UMNO sudah terlanjur diyakini banyak anggota UMNO. Apalagi saat memperhatikan isu Ketua Menteri Sabah, Menteri Besar Perak dan sikap agresif beberapa pemimpin Bersatu.
Kesalahan kedua, mereka tidak punya ide yang jelas untuk mengambil hati rakyat dan mengurangi beban politik. Desakan UMNO atas persetujuan otomatis penarikan Dana Penyediaan Karyawan (EPF) hingga maksimal RM 10 ribu dan moratarium otomatis selama enam bulan tidak ditangani dengan baik. Meskipun sebagian masyarakat memahami mengapa hal itu tidak bisa dilaksanakan, namun secara umum banyak yang melihat kegagalan memenuhi permintaan tersebut merupakan wujud dari kegagalan memahami kebutuhan masyarakat.
Pengumuman bantuan dana untuk Perintah Kawalan Pergeakan (PKP) yang baru juga tidak memiliki faktor ‘wah’ dan membuat masyarakat frustrasi lantaran menunggu sesuatu yang ‘luar biasa’ untuk membantu kesusahan mereka. Upaya mengulang doa Muhyiddin di radio dan televisi selama berbulan-bulan ternyata tidak juga berhasil membuatnya populer. Propaganda yang berulang-ulang justru membuat orang semakin muak.
Terakhir, kelompok Muhyiddin mungkin mengira popularitas akan mampu bertahan lama dan menjadi lisensi untuk melakukan sesuatu yang tidak populer demi kebaikan masa depan. Tetapi kenyataannya, Muhyiddin justru tidak pernah diuntungkan dari hal itu karena sebenarnya dia hanya membangun pemerintahan yang rapuh. (Sinar Harian Malaysia)
Artikel ini ditulis oleh:
Megel Jekson