Ilustrasi Industri-Migas

Jakarta, Aktual.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengevaluasi sejumlah faktor penyebab blok atau wilayah kerja (WK) minyak dan gas bumi (migas) tidak menarik hingga perusahaan enggan mengelola blok tersebut.

Dalam pertemuan “Breakfast Meeting” dengan 52 perusahaan migas besar di Jakarta, Jumat (7/7), Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan faktor teknikal, komersial dan peraturan bisa menjadi penyebab investor enggan menggarap 15 blok migas yang ditawarkan sejak Konvensi dan Pameran Indonesian Petroleum Association (IPA) Mei 2017 lalu.

“Permasalahannya apakah blok tersebut secara teknikal tidak bagus atau tidak punya prospek. Kedua, secara komersial apakah tidak begitu atraktif? Ketiga, apakah peraturan kita yang tidak mendukung sehingga blok tersebut tidak jadi diambil atau dikelola oleh yang berminat,” kata Wamen Arcandra usai acara “Breakfast Meeting” di Ruang Sarulla Kementerian ESDM.

Arcandra menjelaskan saat lelang blok migas tahun lalu, banyak perusahaan yang berminat tapi pada akhirnya tidak ada pemenang lelang. Oleh karena itu, Kementerian ESDM melakukan pendekatan yang berbeda dengan mempertemukan 52 perusahaan besar agar 15 blok migas yang kembali dipromosikan lebih atraktif.

Ia memaparkan untuk permasalahan teknikal, Kementerian ESDM berupaya menyediakan informasi seperti data seismik lokasi blok migas dan “multiclient” data dari perusahaan sebelumnya yang sudah melakukan pengolahan data seismik.

Selain itu untuk faktor komersial, Arcandra menegaskan seluruh penawaran 15 WK Migas dengan menggunakan “Product Sharing Contract” (PSC) skema “Gross Split” atau Bagi Hasil dapat menguntungkan kontraktor.

Ia menilai Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dioperatori PT Pertamina Hulu Energi merupakan WK Migas pertama yang menggunakan skema “Gross Split”. Setelah dikalkulasi, blok tersebut lebih untung setelah mendapat tambahan dari skema “Gross Split” sebesar lima persen.

“Berdasarkan analisa terakhir yang kita hitung bersama dengan Pertamina, itu mendapatkan hasil gross split lebih atraktif daripada eksisting atau konvensional atau ‘cost recovery PIC,” tutur Arcandra.

Selain masalah teknikal dan komersial, investor juga mempertimbangkan kendala peraturan, salah satunya sistem perpajakan khusus untuk skema “Gross Split”. Oleh karena itu, Kementerian ESDM akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dengan sistem perpajakan serupa dengan Revisi PP 79/2010 melalui PP 27/2017 untuk PSC skema “cost recovery”.

“Kita sedang menyusun PP baru tentang perpajakan yang berkaitan dengan gross split yang treatmentnya seperti PP 79. Ini sedang ditunggu oleh para K3S yang berminat terhadap blok-blok yang kita tawarkan. Dan ini menjadi sangat krusial,” ucap Arcandra.

ANT

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan