Kesalahan utama Barat dan banyak komunitas lain adalah memandang Islam sebagai ideologi. Inilah titik awal atau “bibit”-nya. Sehingga dampak yang timbul: Islam diletakkan sebagai pesaing, dijadikan kompetitor, bahkan usai Perang Dingin dianggap musuh utama seperti isyarat Clash of Civilization-nya Huntington.

Mengamati serangkaian peristiwa sejak berakhirnya pilgub DKI Jakarta putara kedua hingga keputusan pengadilan yang menjatuhkan vonis bersalah terhadap Gubernur Petahana Basuki Tjahja Purnama pada Selasa (09/05), ada dua sentimen yang nampaknya semakin menguat dalam beberapa bulan belakangan ini.

Rasa kebangkitan kembali Islam bersamaan dengan semakin mnguatnya rasa nasionalisme dan patriotisme, namun pada saat yang sama, diimbangi dengan semakin mewabahnya phobia Islam. Yang sesungguhnya sama sekali bukan sesuatu yang khas Indonesia. Sebab sejatinya, gelombang nasionalisme dan gelombang Islam sejak sebelum Indonesia merdeka hingga negeri kita merdeka pada 17 Agustus 1945, kedua gelombang tersebut bersenyawa.

Ketika phobia Islam bukan sesuatu yang khas kepribadian Indonesia, lantas mengapa phobia Islam di bumi nusantara saat ini seakan begitu marak? Agaknya hal ini mesti ditelisik saat berakhirnya Perang Dingin antara negara-negara kapitalisme lobral blok Barat versus Uni Soviet dan blok Timur yang berhaluan komunisme pada awal 1990-an.

Samuel P. Huntington, penasehat politik kawakan Gedung Putih dalam buku The Clash of Civilization and The Remaking of World Order (Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia) menyebut:

“Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya! Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal dan kulit-kulit luarnya saja. Dari 32-an konflik-konflik di dunia sekitar tahun 2000-an, dua pertiganya ialah antara Islam dengan Non Islam, tanpa ia mengurai detail sebab akibat dan mengapa konflik menghantam. Mengapa demikian, maka inilah yang memang tengah dijalankan. Opini dibentuk, asumsi-asumsi mulai ditebarkan bahwa skenario itu seakan-akan itu sebuah kebenaran. Dunia internasional pun sontak terhenyak.

Ujung semuanya, Huntington merekomendasi perlunya pre-emtive strike (serangan dini) terhadap ancaman kaum (militan) Islam. Pre-emtive strike itu doktrin negara yang intinya adalah : dengan pertimbangan pembelaan diri —cukup melalui asumsi— suatu negara boleh menyerang kedaulatan negara lain, istilahnya: “pukul dahulu sebelum dipukul”.

Tentu saja pandangan Huntington hanya sekadar dalih, ketimbang kenyataan yang sesungguhnya. Namun bagi pemerintah AS hal itu sudah cukup buat dijadikan dasar penyusunan doktron luar negeri untuk menetapkan musuh baru AS sebagai pengganti komunisme, yaitu Islam. Jadi, dalam kerangka Huntinton yang kemudian jadi doktrin baru politik luar negeri AS, di era pasca Perang Dingin yang berlangsung adalah benturan peradaban antara Barat versus Islam.

Ide tersebut begitu kental mewarnai politik luar negeri Pemerintah Amerika Serikat (AS) terutama era George W. Bush. Kalau kita cermati sejak awal Juni tahun 2002, pre-emtive strike resmi menjadi doktrin baru AS. Meskipun kemudian jadi aneh, Sebab sewaktu Perang Dingin saja memakai metode penangkisan dan penangkalan, mengapa menghadapi teroris –musuh baru– yang masih samar, malah menggunakan doktrin serangan dini?

Namun, mana peduii pemerintah AS meskipun banyak kalangan memandang doktrin tersebut aneh bin ajaib. Negeri Paman Sam jalan terus dengan para sekutu kendati invasi militernya pada beberapa wilayah banyak disebut ilegal.

Afghanistan dan Iraq merupakan “korban” penerapan tahap pertama doktrin kontroversial itu. Akibat invasi militer AS dan sekutunya tak terelakkan dan  tak mampu ditangkis.

Namun ini baru setengah dari kisah. Sebab doktrin yang diterapkan Bush memang baru mewakili salah satu metode yang diterapkan Paman Sam yaitu melalui sarana militer dan perang. Subsntasi masalahnya yang hendak saya bedah dalam kesempatan tulisan ini.

Berbagai opini menyebut, doktrin itu lahir akibat “phobia” Barat terhadap Islam. Phobia ialah ketakutan berlebih tanpa dasar, tanpa jelas alasan. Maka melalui isu beragam, AS pun menebar sentimen keagamaan, dan tragedi 11 September 2001 merupakan salah satu strategi guna meraih dukungan internasional dalam rangka mengobarkan ‘perang melawan teroris’ (War on Terror).

Itulah propaganda emosional. Tatkala sentimen bergeser (atau sengaja digeser) maknanya bahwa teroris identik dengan Islam (militan). Memang disitulah tersirat sebuah tujuan!

Nah pada tataran ini, frase Islam Radikal yang belakangan mencuat menyusul kemenangan duet Anis-Sandi, agaknya perlu kita pandang dengan penuh kewaspadaan. Mengapa? Lagi-lagi, Huntington lah biang keladinya.

Dalam ulasannya, Huntington menyebut faktor penyebab meningkatnya konflik antara Islam dan Barat, antara lain:

(1) tumbuh cepatnya penduduk muslim telah memunculkan pengangguran jumlah besar. Ini menimbulkan ketidakpuasan kalangan kaum muda muslim; (2) kebangkitan Islam memberi keyakinan kaumnya akan tinggi dan keistimewaan nilai peradaban Islam dibanding dengan Barat; (3) di sisi lain, Barat berusaha mengglobalkan nilai dan institusi guna menjaga superior militer serta ekonomi dan selalu turut campur tangan pada konflik-konflik di negara mayoritas Islam.

Hal ini memicu kemarahan kaum muslim; (4) Porak-porandanya Uni Soviet, telah mengubah musuh (komunisme) bersama, sehingga antara Islam dengan Barat merasa sebagai ancaman; (5) meningkatnya interaksi keduanya, mendorong perasaan baru masing-masing bahwa identitasnya berbeda dengan yang lain.

Pada buku  Who Are We? The Challenges to America’s National Identity (2004), Huntington semakin tegas menggambarkan pemikirannya bahwa sesungguhnya musuh Barat pasca perang dingin adalah Islam.

Meskipun ada embel-embel kata ‘militan’ sebagai tambahan, namun di berbagai penjelasan, definisi Islam Militan melebar kemana-mana mengaburkan arti sesungguhnya. Akhirnya, dengan berakhirnya Perang Dingin, maka Islam (militan) benar-benar menggantikan posisi Soviet sebagai musuh utama AS dan sekutunya.

Masalah krusial dari tren ini bagi Indonesia adalah, bahwa kita bukannya ikutserta secara aktif meluruskan kembali pola pikir dan cara pandang Barat utamanya AS dalam memandang Islam, melainkan malah justru jadi sasaran empuk pengaruh cara pandang dan pola pikir Barat yang keblinger tersebut? Apa kesalahan strategis Barat sehingga menjelma jadi Phobia Islam?

Kesalahan utama Barat dan banyak komunitas lain adalah memandang Islam sebagai ideologi. Inilah titik awal atau “bibit”-nya. Sehingga dampak yang timbul: Islam diletakkan sebagai pesaing, dijadikan kompetitor, bahkan usai Perang Dingin dianggap musuh utama seperti isyarat Clash of Civilization-nya Huntington.

Sesungguhnya Islam itu bukan ideologi, Islam adalah agama langit. Jika ideologi ialah hasil olah pikir manusia yang dijadikan pedoman hidup dan kehidupan (peradaban) suatu komunitas, kaum, negara dan sebagainya,  sedang Islam ialah tuntunan hidup manusia menurut aturan dan petunjuk-Nya. Berarti, Islam itu sesuatu Kesadaran dan Daya Spiritual Ilahi yang dikaruniakan Allah SWT kepada umat manusia. Jadi Islam bukan ideologi sebagaimana sangkaan para pakar Barat model Samuel Huntington,

Manakala kini berkembang banyak aliran dalam tubuh Islam dan tiap aliran mengklaim dirinya sebagai kelompok paling benar, itu bukanlah hal prinsip di internal Islam karena cuma masalah latar belakang, wacana dan pendidikan (tasawuf). Yang sejatinya, bermuara pada tujuan yang sama. Mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Memang butuh waktu untuk menata ulang cara pandang dan pola pikir yang terlanjur sudah mewabah di kalangan cendekiawan Muslim negeri kita saat ini.

Dampak yang ditimbulkan seakan-akan umat Muslim terkotak-kotak. Kondisi seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk memecah-belah Islam dari sisi internal, dilakukan oleh suatu negara, atau kaum maupun golongan tertentu yang menganggap Islam sebagai ancaman.

Sebuah retorika menyeruak pada benak ini: Ingatkah terhadap strategi belah bambu dan taktik adu domba yang dijalankan pada banyak kalangan Islam dan dipraktekkan di negara-negara berkembang?

Adanya cap atau merek Islam radikal, liberal, modern, Islam fundamental, tradisional, abangan dan seterusnya, sejatinya adalah stigma buatan yang hendak membentur-benturkan sesama muslim tanpa umat Islam itu sendiri menyadarinya. Itulah hakiki yang terjadi di berbagai negara. Walaupun tata cara dan format adu domba terlihat tidak sama di setiap wilayah, akan tetapi hakikinya serupa. Hanya berbeda nama beda nuansa.

Membenturkan antara Barat dengan dunia Islam adalah kesalahan terbesar sepanjang hidup pakar politik AS Huntington. Mengapa demikian, karena dari sisi terminologi saja, Barat adalah arah mata angin, dimana bila itu dihadapkan selayaknya dengan Timur, Utara atau Selatan, dan bukannya dengan Islam. Itulah yang terjadi.

Asumsi awalnya salah, menghadirkan implementasi yang rancu dan salah kaprah. Begitulah jadinya. Dengan demikian, konsep Huntington tentang benturan peradaban seperti menepuk air di dulang, memercik ke muka “sang tuan”, oleh sebab sesungguhnya tidak ada benturan peradaban, kecuali benturan yang diciptakan sepihak, dan diada-adakan!

Kemenangan Anies-Sandi yang kemudian disusul dengan divonis bersalah atas gubernur petahana Basuki Tjahja Purnama, kiranya akan mengondisikan berbagai elemen bangsa, terutama di kalangan para ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia, untuk menata ulang seraya meluruskan kembali kesalahan strategis Barat yang telah mengobarkan dan mempropagandakan Phobia Islam ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dikarenakan Islam sejatinya merupakan Agama Langit, Kesadaran dan Daya Spiritual Ilahi yang dikaruniakan Allah SWT kepada umat manusia, maka Islam sejatinya sama sekali tidakl berbenturan dengan nasionalisme di bumi nusantara, dan juga tidak berbenturan dengan aneka ragam peradaban di seluruh dunia. Sebagai Agama Langit, Islam melingkupi nasionalisme, sehingga bersenyawa sebagai sebuah gelombang kekuatan dan keyakinan. Sehingga mampu mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia.

Kiranya inilah yang menakutkan beberapa kalangan berhaluan sekularisme dan liberalisme di Indonesia. Ketika gelombang nasionalisme dan Islam tidak saja mampu bersatu. Bahkan lebih dari itu, mampu mengubah kedua gelombang tersebut dari sekadar kekuatan keyakinan kemudian menjelma menjadi Kenyataan yang Hidup dan Membara.

Di sinilah hakekat dari Aksi Bela Islam 411 dan 212.

Hendrajit