Jakarta, Aktual.com — Kekecewaan publik semakin menjadi-jadi mendengar pernyataan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot saat rapat dengar pendapat (RDP) di komisi VII DPR-RI. Gatot mengakui bahwa secara resmi izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia telah dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, walaupun Freeport tidak melengkapi syarat uang jaminan pembangunan smelter sebesar USD530 juta.
Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi dalam menanggapi hal itu mengatakan, Indonesia diambang kehancuran dan tidak berdaulat, dengan mengeluarkan izin perpanjangan ekspor konsentrat, pemerintah secara terang-terangan melanggar UU Minerba No 4 tahun 2009.
“Salah satu tegaknya kedaulatan negara ini adalah semua harus mematuhi hukum, apa jadinya kalau negara demokrasi tidak menjunjung UU. Kalau hukum sudah dilanggar oleh perusahaan, dan pejabat negara sendiri, ini namanya negara sudah tidak punya daulat, dan kalah di depan perusahaan besar,” cetusnya, kepada Aktual.com Rabu, (10/2).
Dia menuturkan bahwa kekalahan negara ini disebabkan ketakutan pejabat negara, atau pemerintah Jokowi untuk menolak izin eksport konsentrat. Padahal, hukum seperti UU Minerba adalah dasar kebijakan pejabat negara untuk menjalankan roda pemerintahan ini.
“Kalau hukum sudah dilanggar oleh pejabat negara, ini sama saja negara tidak punya daulat lagi, dan siapa yang punya duit seperti Freeport bisa menyuruh pejabat negara agar membuang UU Minerba ke tong sampah,” kesalnya.
Sebagaimana diketahui bahwa kewajiban membangun smelter merupakan implementasi dari perintah UU No 4 tahun 2009 agar melakukan pemurnian terhadap barang galian dalam upaya memberi nilai tambah bagi negara, dengan demikian tidak diperbolehkan ekspor konsentrat atau barang mentah.
Sesuai bunyi UU No 4 tahun 2009 pasal 170 berbunyi “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Artinya, sejak UU tersebut ditetapkan tahun 2009, seharusnya Freeport telah memenuhi perintah UU dan membangun smelter dalam rangka pemurnian barang galian, paling lambat tahun 2014.
Namun pemerintah memberikan kelonggaran dengan syarat Freeport membayar bea keluar 5 persen, dan memberikan uang jaminan sebagai komitmen membangun smelter USD530 juta, akan tetapi Freeport menolak membayar uang jaminan, namun herannya pemerintah tetap memberikan izin ekspor.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan