Jakarta, Aktual.co — Tingginya suku bunga domestik saat ini semakin mendorong penguasaan asing atas aset bangsa. Pemerintah didesak untuk segera menurunkan tingkat suku bunga sebagai upaya mengendalikan penguasaan asing tersebut.
Hal itu disampaikan oleh Pengamat Ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Agus Tony Poputra dalam siaran persnya, di Jakarta, Minggu (26/10).
“Pemerintah harus segera menurunkan tingkat suku bunga, supaya kepemilikan asing atas aset bangsa tidak bertambah,” ujar dia.
Ia menjelaskan, pembangunan berkualitas adalah pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas dengan rakyat sebagai penguasa utama atas aset nasional. Dan investasi asing hanya menjadi pelengkap bukan mendominasi penguasaan aset Indonesia. 
Namun faktanya, kata dia, peningkatan kesejahteraan rakyat masih berjalan lambat. Disisi lain, ucap dia, semakin banyak aset nasional dikuasai asing dan rakyat hanya menjadi buruh dengan mengais dari sisa-sisa aktivitas investor asing.
Hal itu, ungkap Agus, terlihat dari data investasi yang dicatat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pada tahun 2013, investasi asing sebesar USD28,62 miliar atau setara Rp299,2 triliun (USD 1=Rp 10.451). Sementara itu, investasi domestik hanya senilai Rp128,15 triliun.
“Ketimpangan investasi ini terjadi dari tahun ke tahun dan semakin mendalam. Sehingga ke depan semakin mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia,” terang Agus.
Akibat Suku BungaMenurut Agus, salah satu penyebab rendahnya investasi domestik adalah akibat tingginya suku bunga kredit di Indonesia, utamanya pada beberapa tahun terakhir. 
Tingginya suku bunga, lanjut dia, juga menjadi penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di pihak lain, investor asing dapat memperoleh dana murah dari luar negeri. Bahkan ada juga investor asing yang tidak bonafid yang mencari surat persetujuan investasi pemerintah di Indonesia kemudian digunakan sebagai garansi untuk mencari modal di luar.
“Akibatnya, banyak investasi asing di Indonesia yang “abal-abal,” bahkan kegiatannya sering mencuri sumber daya Indonesia, terutama pada sektor pertambangan. Termasuk usaha kecil dan menengah (UKM) dari negara-negara Asean lain dapat menguasai bidang usaha yang selama ini dikuasai UKM Indonesia dengan memanfaatkan keuntungan suku bunga pinjaman mereka yang lebih rendah,” ungkap Agus.
Dampak BI RateSebelumnya diberitakan, tingginya suku bunga kredit Indonesia dipicu oleh tingginya BI rate. Sejak pertengahan 2013, BI telah menaikkan BI rate menjadi 7,5 persen untuk memitigasi kenaikan inflasi sebagai akibat kenaikan harga BBM subsidi. Kebijakan BI untuk mempertahankan BI rate yang tinggi lebih dari satu tahun perlu dipertanyakan bila melihat penyebab inflasi tersebut. 
Kebijakan untuk menaikan BI rate hanya tepat digunakan jika inflasi disebabkan oleh kenaikan permintaan yang signifikan (excess demand). Pada kondisi ini, dengan menaikan BI rate dapat mengurangi permintaan barang dan jasa sehingga harga bisa terkendali. Tetapi penyebab inflasi tahun lalu bukan kenaikan permintaan tetapi kenaikan harga BBM subsidi yang meningkatkan biaya produksi (cost push inflation). 
Oleh sebab itu, bila BI terpaksa menaikan BI rate, seharusnya tidak dipertahankan dalam jangka waktu lama sebab sangat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha. Pada situasi ini, kenaikan BI rate membawa dampak negatif berganda bagi dunia usaha. Kenaikan harga BBM telah meningkatkan biaya operasional perusahaan dan penurunan pendapatan, kemudian diperparah oleh kenaikan suku bunga kredit yang menambah beban keuangan mereka. Akibatnya produk Indonesia menjadi semakin kurang kompetitif. Menurut Agus, salah satu alasan lain yang sering diketengahkan para pengambil keputusan saat menaikan BI rate adalah mengantisipasi kenaikan suku bunga the Fed yang dapat menyebabkan repatriasi modal keluar dari Indonesia. Secara teoritis, hal tersebut benar bila dilihat secara parsial.  
Namun di lapangan, aliran modal antar negara tidak semata disebabkan perbedaan tingkat bunga. Prospek bisnis, ketersediaan sumber daya, serta kestabilan politik dan keamanan juga menjadi faktor penentu mengalirnya modal secara global. Dengan demikian ketakutan mengalirnya modal keluar negeri karena suku bunga rendah merupakan ketakutan berlebihan dan cenderung menjadi fobia bagi kalangan pembuat keputusan. Sesungguhnya, mempertahankan bunga yang tinggi akan memperlemah pertumbuhan ekonomi dan menggerus sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan asing. “Kondisi di atas menjadi tantangan bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk mencapai salah satu visi mereka yaitu kemandirian ekonomi. Visi ini akan semakin sulit terwujud jika urusan BI rate dan suku bunga terdampak olehnya tidak diselesaikan. Perlu kerjasama antara pemerintah dan BI untuk menentukan BI rate yang tepat agar tidak mengorbankan pertumbuhan dan kemandirian ekonomi hanya semata untuk mengendalikan inflasi,” tutup Agus.