Jakarta, Aktual.com — Pengamat Ekonomi Univeritas Widaya Mandira (Unwira) Kupang Dr Thomas Ola Langoday meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menertibkan Bank BUMN untuk mamatuhi kebijakan BI terkait penurunan BI Rate dari 0,25 persen menjadi tujuh persen.

“Campur tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setempat untuk menertibkan kebijakan BI yang telah menurunkan BI Rate ini penting dilakukan bersama lembaga berkompeten lainnya di bidang perbankan perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah, sehingga ada implementasi di lapangan,” ujar Pengamat Ekonomi Univeritas Widaya Mandira (Unwira) Kupang Dr Thomas Ola Langoday di Kupang, Kamis (10/3).

Dekan Fakultas Ekonomi Unwira Kupang ini mengatakan itu terkait implementasi dari kebijakan Bank Indonesia yang menurunkan BI Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 7 persen dari sebelumnya 7,25 persen termasuk memutuskan akan menurunkan giro wajib minimum (GWM) primer dalam rupiah dari 7,50 persen ke level 6,50 persen pada 16 Maret mendatang dan realisasinya di lapangan.

Menurut dia, penurunan GWM tersebut sangat positif bagi perbankan dalam memutar uangnya di masyarakat dan dunia usaha, sehingga perlu ada konsistensi dari pihak Bank BUMN sebagai motor dan teladan bagi bank non pemerintah atau lembaga keuangan non bank yang ada.

Hal itu menurut dia, apabila OJK tidak tegas melakukan pengawasan dalam hal realiasi dari kebijakan itu di tingkat bawah dan masih terjadi praktik tingkat bunga kredit yang tinggi oleh berbagai bank di Indonesia diyakini akan berpotensi membuat orang malas berusaha dan dampaknya sangat dirasakan oleh UMKM.

Ia juga yakin bahwa suku bunga tinggi, orang senang untuk makan riba dan mengajak orang malas untuk berusaha atau mengalihkan uangnnya ke tempat lain, termasuk ke luar negeri sehingga yang rugi adalah negara dan daerah.

“Dengan suku bunga yang tinggi maka orang-orang yang memiliki kelebihan uang akan cenderung untuk menempatkan uang di bank dan mengambil keuntungan bunga yang tinggi dan enggan mengembangkan usaha untuk pembukaan dan penambahan lapangan kerja serta perputaran uang dalam negeri emakin lancar dan efektif serta efisien,” katanya.

Hal itu pula kata dia, akan berdampak negatif kepada orang-orang yang ingin bekerja atau membuka lapangan pekerjaan karena ongkosnya yang mahal karena dibebani pinjaman berbunga tinggi.

Untuk itu, katanya, salah satu solusinya adalah peran OJK di bidang pengawasan dimaksimalkan dan demikian pula partisipai aktif pemerintah daerah untuk mendorong agar aktivitas perekonomian dan pembukaan lapangan kerja dapat lebih ditingkatkan.

“Kalau tahun ini bunga kredit 9 persen, bisa saja tahun depan turun lagi 7 persen dan hingga akhirnya mencapai standar minimum seperti lima hingga empat persen, namun ini butuh waktu untuk turun minimal karena mengandung risiko perbankan, sehingga cukup sampai tujuh persen,” katanya.

Karena menurut dia, penurunan suku bunga merupakan harapan pemerintah untuk efisiensi keuangan negara, sehingga penertiban bank-bank BUMN dan BUMD untuk merealisasikan kebijakan penurunan suku bunga bank sangat dibutuhkan dan ditunggu banyak pihak.

Bahkan untuk di NTT, katanya, peran aktif OJK untuk hal dimaksud (pengawasan dan penertiban) akan sanggat membantu industri jasa keuangan di daerah ini untuk semakin tumbuh positif dari sisi neraca.

Industri jasa keuangan di NTT sepanjang 2015 telah menunjukkan pertumbuhan yang positif dari sisi neraca, termasuk di antaranya pertumbuhan aset, dana pihak ketiga dan kredit tumbuh di atas rata-rata nasional.

Terbukti katanya secara year-on-year, industri perbankan setempat berhasil membukukan pertumbuhan aset sebesar 47,13 persen dana pihak ketiga sebesar 16,90 persen dan kredit sebesar 14,04 persen.

“Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, ketiga aspek tersebut terus menunjukkan tren kenaikan. Minat masyarakat untuk menabung juga cukup tinggi dan terus menunjukkan kenaikan,” katanya menegaskan.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka