Jakarta, Aktual.com — Peran dan sumbangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial dalam perjalanan bangsa ini memang tidak terbantahkan.
Puluhan ribu lembaga pendidikan umum dan keagamaan dikelola oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Begitu pula pelayanan kesehatan, sosial, dan ekonomi yang dilakukan oleh kedua ormas telah memberi manfaat langsung kepada umat.
Kehadiran dua ormas tersebut di tengah masyarakat melalui ribuan pesantren, pelayanan kesehatan, panti asuhan, panti sosial, lembaga ekonomi, dan amal usaha lainnya telah memberi manfaat nyata selama puluhan tahun.
Namun, masih ada sumbangan besar kedua ormas Islam tersebut di luar ladang pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi. Kesadaran menjadikan Islam sebagai rahmat sekalian alam oleh kedua ormas itu melalui berbagai aktivitas dakwahnya, menjadikan Islam di Indonesia berwajah lebih ramah.
Memang ada ormas dan gerakan yang lebih radikal, namun secara keseluruhan itu tidak mengurangi citra Islam di Indonesia yang lebih damai.
NU yang lahir pada 31 Januari 1926 sejak awal memang mengambil pendekatan dakwah Islam melalui pendidikan dan budaya dengan basis masyarakat perdesaan. Bersamaan dengan kian banyaknya penduduk Indonesia yang berada di perkotaan, dakwah kultural NU juga menyebar ke masyarakat perkotaan.
Bahkan, para intelektual NU dalam 10 tahun terakhir ini lebih mewarnai pemikiran Islam di Indonesia yang lebih menonjolkan inklusivitas Islam berbasis kebudayaan lokal/nasional.
Islam yang inklusif, ramah, dan menghargai keberagaman itulah yang coba terus dibangun oleh NU melalui para kiai, intelektual, dan aktivisnya.
Sikap dan perilaku Nahdliyin, juga Muhammadiyah, itulah yang membentuk wajah umat Islam di Indonesia karena mayoritas Muslim di Indonesia berafiliasi kepada dua ormas Islam ini.
“NU sebagai organisasi yang besar mampu menjaga Indonesia dan tetap menjadi Indonesia,” kata Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, Sabtu (1/8) pekan lalu.
Sementara itu, Muhammadiyah yang lahir pada 18 November 1912, sejak awal memang didesain oleh pendirinya, Ahmad Dahlan, sebagai gerakan dakwah melalui lembaga pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, serta pembaruan.
Oleh karena itu wajar saja bila dalam usianya yang lebih dari satu abad, Muhammadiyah memiliki belasan ribu lembaga pendidikan mulai dari PAUD, TK, SD hingga perguruan tinggi.
Ormas ini juga mengelola ratusan unit pelayanan kesehatann dan panti sosial dan asuhan, yang keberadaannya dirasakan oleh masyarakat luas.
Wajar saja bila Presiden Jokowi ketika memberi sambutan pembukaan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (3/7), memberi apresiasi kepada Muhammadiyah.
“Negara ini benar-benar berutang kepada Muhammadiyah. Bayangkan, berapa ratus ribu bahkan jutaan bayi, anak bangsa ini, yang telah lahir di rumah sakit PKU Muhammadiyah atau klinik bersalin Aisyi’ah di seluruh pelosok negeri ini,” kata Presiden dalam sambutan pembukaan Muktamar Muhammadiyah di Makassar.
Presiden Jokowi menyebutkan, berapa juta orang yang menyelesaikan pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Belum lagi panti asuhan, koperasi, baitul mal, dan amal usaha lainnya.
“Sekali lagi, kita semua menaruh hormat dan berterima kasih pada kontribusi Muhammadiyah bagi bangsa ini,” kata Presiden Jokowi.
Sumbangan Besar Meskipun secara institusional kedua ormas ini kadang tidak bisa menghindari dari suasana rivalitas, dalam banyak aspek kedua ormas ini secara alami bersinergi dan membangun kerja sama tanpa nota kesepahaman.
Kedua ormas ini memiliki komitmen kuat untuk menampakkan wajah Islam yang lebih bersahabat, inklusif, sekaligus menjadikan agama ini sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).
Itulah sumbangan besar kedua ormas dalam menjaga Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.
Tersebarnya pengikut dan simpatisan kedua ormas tersebut juga diyakini memperkuat ikatan kebangsaan karena selain ada kesamaan agama, mereka disatukan dalam kesamaan orientasi “ideologi” masing-masing ormas tersebut.
Oleh karena itu pengamat Islam Indonesia, Mitsuo Nakamura, menyatakan tidak khawatir adanya berbedaan NU dengan Muhammadiyah dalam beberapa hal.
“Sepanjang) perbedaan tersebut bisa disalurkan, itu akan menjadi energi baru dalam pembentukan Islam jenis baru di Indonesia,” kata profesor emiritus Chiba University, Jepang, itu seperti dikutip laman islamindonesia.id.
“Saya melihat NU dan Muhammadiyah sekarang sudah menjadi dua kekuatan masyarakat madani yang sangat mapan secara sosial,” kata Nakamura, penulis buku “The Crescent Arises over The Banyan Tree: A Study of The Muhammadijah Movement in A Central Javanese Town”.
Ada gejala menarik bahwa belakangan ini semakin banyak anak dari keluarga Muhammadiyah menyekolahkan anak-anaknya di pondok pesantren yang dikelola oleh tokoh atau kiai NU. Begitu pula makin banyak anak NU yang sekolah dan kuliah di kampus milik Muhammadiyah.
Kini menjadi kelaziman dosen dan guru di lembaga pendidikan Muhammadiyah berlatar belakang NU. Begitu pula sebaliknya. Sesuatu yang wajar bila di kampus Universitas Muhammadiyah Malang, misalnya, berdiri Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Bahkan, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhamammdiyah Din Syamsudin merupakan mantan Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Sumbawa 1970-1972. Sejarah juga mencatat betapa dekatnya tokoh Muhammadiyah Moeslim Abdurrahman dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Pemukulan bedug bersama oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin dan Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noorjannah Djohantini dalam pembukaan Muktamar di Makassar, Senin (3/8), menyiratkan pesan bahwa Muhammadiyah tidak antitradisi.
Model hibrida seperti itu bakal melahirkan generasi yang tidak fanatik sempit dan bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama yang lebih luas. Benih-benih seperti ini bukan saja akan memperkuat “ukhuwah Islamiyah”, melainkan juga “wathoniyah” (kebangsaan).
Jejak nasionalisme para pendiri NU dan Muhammadiyah dalam perjalanan membangun bangsa begitu kuat. Bahkan, Ahmad Dahlan selain pendiri Muhammadiyah, anggota aktif organisasi pergerakan Boedi Oetomo.
Mungkin sudah menjadi kehendak sejarah pula bila Gus Dur (NU) dan Amien Rais (Muhammadiyah) menjadi tokoh penting dalam arus perubahan Reformasi 18 tahun lalu.
Gus Dur dengan Amien Rais memang beda. Begitu pula NU dan Muhammadiyah. Namun, menyangkut kepentingan bangsa, sejarah membuktikan dua ormas ini dan tokoh-tokohnya memiliki kesamaan tujuan.
Artikel ini ditulis oleh: