Jakarta, Aktual.com – Suasana Istana Merdeka Jakarta pada 28 Oktober 2016 terlihat berbeda. Halaman yang biasanya terkesan sepi manusia, hanya terlihat sosok bangunan heritage dengan tangga, pilar-pilar dan lighting yang gagah dan dijaga oleh banyaj Paspampres, berubah menjadi panggung hiburan rakyat. Peringatan Sumpah Pemuda ke-88 kali terasa lebih berkesan, lebih merakyat dalam bungkus “Nusantara Berdendang.”
Presiden Joko Widodo cukup senang dengan acara yang menggabungkan tari, musik, tari, tata panggung, dengan latar belakang Istana Merdeka yang ditimpa dengan video mapping. “Bagus sekali. Koreografi bagus untuk ukuran panggung yang cukup lebar,” sebut Presiden Joko Widodo. Hanya saja, penonton terkesan “dingin”, tidak spontan heboh sebagaimana pertunjukan seni yang lain. Penonton terasa kalem, tidak reaktif, seperti harus loading lama sebelum bereaksi.
Mereka hanya antusias ketika tarian atau musik “keluar pakem” dan tidak seperti asli cerita dan gerakannya. Mungkin juga karena berada di halaman Istana Merdeka yang kesannya serius, angker dan berwibawa, sehingga untuk ngakak saja harus menahan diri.
Penampilan Tari Saman menarik, Tarik Kecak Bali juga selalu dinamis. Kolaborasi sesama tarian dengan ritme cepat itu menjadi sensasi yang luar biasa. Ketika salawat Aceh, berdialog dengan cak-cak-cak Bali, ternyata menggetarkan rasa nasionalis, dan itulah pesan Sumpah Pemuda.
Begitupun tari Grandrung Banyuwangi. Formasi bunga merah dan putih melambangkan bendera dalam Satu Nusa Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Indonesia.
“Memang di situ sensasj terbaik Tarian Gandrung Banyuwangi itu,” jelas Menpar Arief Yahya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (31/10).
Wayang Ajen yang dimainkan Ki Dalang Wawan Ajen dari Jawa Barat juga tampil memukau di Kompleks Istana Merdeka Jakarta, Jumat (28/8) malam. Kreasi kreatif Wayang Ajen yang memadukan Wayang Landung Ciamis, Bebegig Ciamis, Wayang Orang Bandung serta transformasi wayang kulit dalam wayang pulo Jogjakarta, membuat sekitar 5000 penonton yang hadir di Istana Merdeka, Jakarta, memberikan applaus.
Sejumlah menteri Kabinet Kerja, Wapres Jusuf Kalla hingga Presiden Jokowi ikut terkesima. Semua seperti dibuat penasaran dengan penampilan wayang yang sudah diakui UNESCO sejak 2010 tersebut. Wayang yang disupport Kemenpar RI itu terasa sangat spektakuler. Keberagaman yang menjadi jati diri bangsa Indonesia sukses dipertontonkan pada perhelatan yang diberi tajuk ‘Nusantara Berdendang’ itu.
Ada banyak dalang dan jenis wayang yang tampil bareng dalam satu panggung. Dari Ciamis, ada Wayang Landung dan Bebegig. Dari Bandung, ada Wayang Orang yang ikut dirangkul. Dan dari Jogjakarta, ada transformasi wayang kulit yang divisualkan dalam bentuk wayang pulo. Bagaikan music orchestra, semua dalang yang memainkan aneka jenis wayang tadi, bisa menyatu dengan apik di bawah komando Wayang Ajen.
Lantas apa sih warna yang ditampilkan di atas satu panggung utama, dua panggung musik dan satu panggung untuk wayang dan paduan suara itu? Kenapa juga ribuan masuarakat dan sejumlah tokoh-tokoh penting di negeri ini sampai tertegun?
Magnetnya tidak hanya satu. Dari sisi durasi, kolaborasi jenis wayang itu hanya diberi waktu 7 menit. Waktu 10 menit yang sempat diberikan di awal latihan dikompres lagi lantaran banyak atraksi yang dihadirkan hingga pukul 21.50 WIB itu. “Saya pernah tampil 58 detik. Ketatnya durasi sudah bukan barang baru bagi wayang ajen,” tutur Wawan Gunawan, dalang wayang ajen.
Hal istimewa lainnya? Ada di teknik. Jumat malam, penampilan Wayang Ajen di Istana Kepresidenan Republik Indonesia itu benar-benar ‘wow’. Sajian musiknya tergolong tak biasa. Nuansanya Indonesia banget! Hampir semua wilayah di Nusantara dimasukkan ke dalamnya. Dari mulai musik tradisional Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, kawasan cross border, semuanya ada. Dan semua tamu yang hadir di Istana terlihat enjoy mendengarkan lantunan music tradisional yang diracik sangat apik itu.
Display wayangnya, benar-benar out of the box. Bentuk, warna-warni, postur, asesoris yang ditampilkan sangat tak biasa. Beberapa di antaranya ada yang berbentuk lima pulau besar di tanah air. Dari mulai display wayang berbentuk Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua, semua ada. Ada juga wayang raksasa setinggi 2,5 meter.
“Ini adalah buah perjalanan Wayang Ajen yang pernah tampil di 49 negara selama 17 tahun. Jadi warna-warna menarik di berbagai belahan dunia ikut dibawa ke Istana,” tambah Dalang Wawan.
Pengalaman manis saat mendapatkan penghargaan untuk penampilan terbaik di Festival de Titeres de Canarias 2009 Spanyol kembali dipertontonkan. Pesan-pesan sarat makna saat tampil di Yakutsk, Republik Sakha (Yakutia), Federasi Rusia, 2012 silam juga ikut disisipkan. Interaksi aktif antara penonton, wayang dan dalang yang sempat diperlijhatkan di Yunani, Belanda, Perancis dan Italia juga tetap diperlihatkan.
Hasilnya? Serta merta tepuk tangan menggema. Pesan filosofi yang disampaikan dalam bentuk perang baratayudha tersampaikan. Seluruh penonton seakan sepakat bahwa Indonesia akan terus bersaing dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, dan mencari peluang untuk tampil sebagai bangsa pemenang.
“Ini seperti perang. Tapi perang yang ini kita terjemahkan dalam kerja, kerja kerja! Berkarya dan terus mencipta,” kata Wawan mengepalkan tangannya.
Dan saat menjelang klimaks, penonton kembali dibuat terdiam. Obrolan seputar semangat Nawacita membuat semua tamu undangan memandang dengan sorotan rasa penasaran. Selintas kemudian, tepuk tangan pun langsung terdengar. Semua kompak memberikan applaus untuk Wayang Ajen.
Pesan lain yang tak kalah disambut antisias adalah tema Sapu Bersih (Saber) Pungli. Kebetulan, isunya sedang hot dan mendapat perhatian serius dari Presiden Jokowi. Pesan orang nomor satu di Indonesia itu jelas! Presiden sudah menyatakan perang terhadap pungutan liar alias pungli.
“Kami ingin semua pesan sampai. Dengan lakon wayang yang bermacam-macam ini, pesannya akan lebih mudah terserap ke masyarakat. Ini seperti perang. Kemenangan itu direncanakan. Sama seperti pesan pak Menteri Arief Yahya,” jelas Wawan Gunawan. (ad)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka