Jakarta, Aktual.com – Di saat pemerintah lamban memenuhi tuntutan ribuan supir angkutan umum, kepolisian justru gerak cepat menetapkan jumlah tersangka dari oknum supir yang dianggap jadi biang ricuh di demo Selasa (22/3) lalu.
Jumlahnya terus bertambah dengan cepat. Informasi terakhir, Kamis (23/3), Polda Metro Jaya sudah menetapkan 34 supir sebagai tersangka.
“Kami sudah menangkap delapan orang tersangka, 26 tersangka lainnya sedang menjalani BAP sebagai tersangka,” ujar Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti, di Mapolda Metro Jaya, Kamis (24/3).
Tersangka terdiri dari pengemudi ojek online dan sopir bajaj yang dicokok dalam kericuhan di Sudirman, Semanggi, Satrio dan Kembangan.
Kata dia, jumlah tersangka bisa bertambah, mengingat pengembangan penyelidikan masih berlangsung. Mereka terancam dijerat Pasal 170 KUHP, Pasal 218 KUHP, serta Pasal 63 Ayat (1) dan 12 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Di saat polisi cepat tangkapi para supir yang dianggap ricuh, Pemerintah justru lamban respon tuntutan yang menjadi alasan ribuan supir terpaksa mogok dan turun ke jalan.
Pemerintah bahkan bukannya lamban, tapi tidak memenuhi tuntutan para supir. Malah terkesan pemerintah lebih pro terhadap angkutan berbasis aplikasi, dan justru anggap supir angkutan konvensional sebagai biang keributan.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan misalnya, dalam pernyataannya saat konfrensi pers, Selasa (22/3) justru mengatakan, “Kalau kami tutup aplikasi ini juga, berapa lagi yang akan ribut?”
Logika dia, memenuhi permintaan pengunjuk rasa untuk memblokir aplikasi Grab Car dan Uber Taksi hanya akan menimbulkan masalah baru. Yakni dengan kemungkinan unjuk rasa para pengemudi transportasi berbasis aplikasi online.
Mengulur waktu, Luhut mengatakan akan berunding dengan Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Perhubungan, Rabu (23/3).
Dalih dia, pemerintah sedang mempelajari dan perlu waktu dalam menyelesaikan permasalahan persaingan bisnis antara layanan transportasi konvensional dengan yang berbasis online. “Tidak bisa diminta sekarang langsung jadi besok. Tidak semudah membalikkan tangan,” kata Luhut.
Pernyataan Luhut terbilang janggal. Sebab permintaan ini sudah sejak lama dilayangkan para supir angkutan umum yang legal karena merasa terganggu dengan keberadaan angkutan berbasis layanan online yang tidak mematuhi regulasi, namun anehnya justru dibela pejabat pemerintah.
Artikel ini ditulis oleh: