Jakarta, Aktual.com – Hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia menunjukkan pemerintahan Jokowi memiliki modal yang baik untuk menjawab tantangan intoleransi dan penurunan kebebasan sipil.
“Ada modal yang cukup besar dan bisa dimaksimalkan Pemerintahan Jokowi periode kedua ditengah tantangan tersebut,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (3/11).
Djayadi mengatakan berdasarkan survei pada bulan September 2019 yang dilakukan lembaganya, menunjukkan secara umum ada sejumlah masalah atau gejala menurunnya kebebasan sipil dan meningkatnya intoleransi pada awal periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.
“Secara umum belum ada perbaikan dalam indikator intoleransi beragama dan berpolitik. Dibandingkan tahun 2018, tahun 2019 cenderung stagnan. Dan jika dibandingkan 2017 dan 2016 tampak situasi yang Iebih buruk, khususnya dalam kehidupan berpolitik,” papar Djayadi.
Dia mengatakan berdasarkan temuan survei, warga muslim yang intoleran terhadap non-muslim dalam membangun rumah ibadah sebesar 53 persen. Hanya 36,8 persen yang mengaku tidak keberatan.
Sementara soal adanya kegiatan acara keagamaan non-muslim di sekitar mereka, hasilnya lebih baik. Di mana kalangan muslim yang keberatan hanya 36,4 persen sedangkan yang merasa tidak keberatan 54 persen.
Di sisi lain mayoritas muslim merasa keberatan jika non-muslim menjadi kepala pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, gubernur, wakil presiden, dan presiden.
Dia mengatakan sikap intoleran kalangan muslim juga tampak dalam hubungan antara mayoritas dan minoritas. Menurutnya, cukup banyak muslim yang setuju bahwa umat agama minoritas di Indonesia harus mengikuti kemauan muslim mayoritas (37,2 persen).
Namun, hanya 14,8 persen yang setuju jika umat Islam yang menjadi minoritas di negara Iain harus mengikuti mayoritas di negara tersebut.
Djayadi juga memaparkan adanya kecenderungan memburuknya sejumlah indikator kebebasan sipil. Publik yang menganggap bahwa sekarang masyarakat takut bicara tentang politik semakin banyak yakni 43 persen, dibanding 2014 yang hanya 17 persen.
Responden yang menyatakan warga khawatir atas penangkapan semena-mena oleh aparat penegak hukum juga naik dari 24 persen pada 2014 menjadi 38 persen.
Sementara itu, responden yang menyatakan bahwa sekarang warga takut berorganisasi juga naik dari 10 persen pada 2014 menjadi 21 persen. Hal yang sama juga terjadi dalam hal ketidakbebasan beragama dari 7 persen pada 2014 menjadi 13 persen.
“Dalam hal kebebasan pers juga tampak belum menggembirakan. Mereka yang beranggapan bahwa media massa kita bebas dan tidak disensor pemerintah cukup banyak yakni 43 persen. Namun yang menyatakan tidak bebas dan disensor pemerintah juga besar yaitu 38 persen,” ungkap dia.
Temuan-temuan ini, kata dia, menunjukkan bahwa masyarakat merasakan kebebasan sipil yang menjadi pondasi demokrasi belum baik dan bahkan cenderung memburuk.
Meskipun demikian, pemerintahan Jokowi disebut memiliki modal besar untuk menjawab tantangan itu.
Djayadi mengatakan tampak ada tren penguatan keyakinan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah landasan berbangsa dan bernegara yang paling baik.
Selama tiga tahun terakhir juga ditemukan tren penguatan identitas kebangsaan yang dibarengi dengan pelemahan identitas keagamaan dan kesukuan.
Selain itu, tingkat kepuasan masyarakat terhadap Presiden Jokowi juga masih baik, di tingkat 70 persen, serta komitmen warga terhadap demokrasi masih tinggi yakni di atas 80 persen pada 2019.
“Demokrasi merupakan modal yang cukup baik bagi Pemerintahan Jokowi periode kedua. Tantangannya, bagaimana pemerintah memelihara dan meningkatkan kepuasan terhadap demokrasi,” tutur dia.
Dia menekankan pemerintah perlu menjaga dan memperbaiki kecenderungan menurunnya kebebasan sipil, dan mengatasi peningkatan gejala intoleransi di masyarakat baik politik maupun relijius-kultural.
Survei LSI dilakukan pada 8-17 September 2019 dengan melibatkan 1.550 responden yang terpilih secara acak dengan margin of error ± 2,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan