Dua pejalan kaki melintasi papan sosialisasi pembayaran pajak secara online di Jakarta, Selasa (1/3). Direktorat Jenderal Pajak membuat peta zona potensial pajak untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp1.360,1 triliun pada 2016. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama/16

Jakarta, Aktual.com — Survei konsultan keuangan dan pajak, RSM Indonesia mencatat 72 persen perusahaan aktif internasional dan skala menengah diperkirakan membayar pajak lebih besar terkait rencana Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengenai “Base Erosion and Profit Shifting” (BEPS).

RSM Indonesia menyebut perusahaan skala menengah didefinisikan sebagai perusahaan dengan pendapatan antara 50 juta dolar AS hingga 1 miliar dolar AS.

“Permasalahan utamanya disebabkan oleh belum jelasnya bagaimana penerapan aturan tersebut,” kata Director Tax and Business Services RSM Indonesia, Nick Graham di Jakarta, Rabu (8/6).

Survei yang dilakukan di awal 2016 kepada perusahaan-perusahaan dengan skala menengah di Eropa, Amerika, Asia, Timur Tengah, dan Afrika menunjukkan perusahaan-perusahaan akan menanggung biaya tersebut, namun akan membaginya dengan pemegang saham dan pelanggan.

RSM Indonesia juga mencatat 41,2 persen dari perusahaan skala menengah mengestimasikan bahwa beban pajak akan meningkat hingga 10 persen dan 31 persen mengestimasi kenaikan lebih dari 10 persen.

“Pola ini berlanjut untuk biaya kepatuhan di mana 65 persen dari perusahaan skala menengah menduga bahwa biaya untuk memastikan kepatuhan akan naik lebih dari 10 persen,” tuturnya.

Sementara itu, 53 persen berencana menangung beban tersebut sendiri, namun 35 persen berharap pelanggan ikut menanggung sebagian beban dan 30 persen berharap pemegang saham juga harus ikut serta dalam menanggung beban tersebut.

Walaupun aturan ini akan berdampak langsung pada profit, kata Nick, hanya 18 persen dari perusahaan skala menengah yang telah menyusun rencana memastikan kesesuaian dengan aturan baru dan 20 persen telah sesuai dengan aturan “transfer pricing” yang baru.

Sebelumnya, negara-negara G20 membahas kerja sama memerangi kejahatan perpajakan antar negara atau “cross border tax crimes” pada musim semi Bank Dunia-IMF di Washington DC, AS, 12-18 April lalu.

Dalam hal ini, para menteri membahas “progress” implementasi “Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) serta Automatic Exchange of Tax Information in Financial Sector (AEOI).

Kedua inisiatif G20 itu sangat penting dalam memerangi upaya penggelapan dan penghindaran pajak oleh banyak perusahaan multinasional dan individual memanfaatkan “tax haven countries” dan celah hukum di instrumen keuangan oleh pusat keuangan global.

Indonesia sendiri memiliki kepentingan sangat besar di dalam kerja sama perpajakan global, mengingat program pemerintah saat ini untuk menaikkan penerimaan negara dari perpajakan.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka