“Saya dipanggil oleh Presiden Megawati dan Menko Dorojatun Kuntjoro-Jakti, kemudian diminta untuk menjadi Ketua BPPN. Saat itu saya jelaskan bahwa saya ditunjuk untuk menjadi Duta Besar untuk WTO. Tapi presiden meminta agar saya bersedia menjadi Ketua BPPN, dan saya meminta persyaratan agar diberi arah yang jelas,” katanya.

Sebelumnya, Mantan Ketua BPPN ini mempersoalkan laporan audit investigasi BPK, karena telah dipakai KPK untuk menyatakan perbuatannya bersama pihak lain merugikan keuangan negara senilai Rp4,58 triliun.

“Laporan audit investigatif yang dituangkan dalam Laporan BPK Nomor 12/LHP/XXI/08/2017 tanggal 25 Agustus 2017 tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri yaitu Peraturan BPK No 1 Tahun 2017,” kata pengacara Syafruddin, Ahmad Yani.

Dalam perkara ini Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.

“Laporan audit BPK disyaratkan dalam unsur-unsur pemeriksaan keuangan negara, salah satunya harus terdiri dari hubungan tiga pihak, yaitu pemeriksaan keuangan negara (auditor); pihak yang bertanggung jawab (auditee); dan pengguna LHP (lembaga perwakilan, pemerintah dan/atau pihak lain yang berkepentingan,” tambah Yani.

Menurut Yani, dalam hasil Laporan BPK No. 12/25 Agustus 2017 itu tidak melibatkan pihak BPPN yaitu unsur mantan ketua, wakil ketua, pejabat serta pegawai lainnya. Padahal pemeriksaan BPK sebelumnya, tahun 2002 dan 2006, pihak yang diperiksa (auditee) diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan. (Wisnu)

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara