Jakarta, Aktual.co —Saat ini di Indonesia, dalam perdebatan wacana tentang pembangunan ekonomi nasional, sering muncul tudingan-tudingan bahwa pemerintah telah menjalankan kebijakan yang neo-liberal. Kebijakan ini dianggap lebih mementingkan akomodasi terhadap kepentingan modal asing ketimbang kepentingan rakyat Indonesia sendiri. Nah, jika kita telusuri ke sejarah, pola-pola pendekatan semacam itu tampak pada tokoh Partai Sosialis, Syahrir.
Selain Soekarno dan Mohamad Hatta, tokoh pergerakan Indonesia yang cukup menonjol pasca proklamasi kemerdekaan adalah Syahrir. Ia dipandang sebagai tokoh penting pada minggu-minggu pertama revolusi. Syahrir, dengan dukungan pemuda-pemuda di sekitarnya, berhasil banyak mempegaruhi jalannya politik yang akhirnya menempatkan dirinya di kursi Perdana Menteri pada 14 November 1945.
Lahirnya sistem Kabinet Perdana Menteri ini sebenarnya secara konstitusional menyimpang dari ketentuan UUD ’45, walaupun secara politis pada waktu itu dibenarkan oleh suasana darurat revolusioner. Garis politik Syahrir ini tercermin dalam brosurnya “Perjuangan Kita,” yang penerbitannya diumumkan oleh Kementerian Penerangan pada 10 November 1945.  
Di situ Syahrir mengemukakan idenya tentang revolusi demokratis yang menekankan pentingnya arti demokrasi buat melawan kecenderungan fasisme yang masih membekas, terutama di kalangan generasi muda, akibat pengaruh pendudukan militer Jepang.
Banyak orang mengatakan, Syahrir itu figur politisi yang lebih suka berdiplomasi ketimbang berperang melawan penjajah Belanda. Syahrir memang tidak menginginkan semangat revolusi yang meluap-luap, yang bisa berubah menjadi “terorisme” yang tidak bertanggungjawab terhadap orang-orang Belanda, Indo, dan kelompok-kelompok minoritas yang dianggap pro-Belanda, seperti Cina, Ambon, dan Manado.
Dari situ dapat dilihat benih-benih sosialisme kemanusiaan atau demokrasi sosial, yang ingin ditebarkan Syahrir di kalangan kaum muda. Tetapi sebenarnya hal itu juga berkaitan erat dengan pandangan Syahrir tentang kedudukan Indonesia yang sangat lemah pada waktu itu, yang menurutnya masih berada di bawah pengaruh kekuatan kapitalis Amerika Serikat dan Inggris.
Oleh karena itu, menurut pandangan Syahrir, adalah tidak bijaksana bagi negara muda yang masih rapuh ini untuk memusuhi mereka. Cara pandang Syahrir yang terkesan “lembek” dan “akomodatif pada penjajah” ini jelas tidak akan klop dengan politisi atau aktivis pergerakan dari kubu nasionalis dan kubu komunis, yang berapi-api menyatakan permusuhan pada kekuatan kapitalis.
Syahrir bahkan melihat, nasib Indonesia amat tergantung pada kebijaksanaan politik yang akan diambil oleh kekuatan-kekuatan imperialis itu. Dari situlah, Syahrir menyimpulkan, satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan Indonesia adalah dengan melalui “diplomasi yang lihai dan fleksibel, agar Amerika dan Inggeris tidak terundang buat mendukung Belanda secara penuh.”
Selanjutnya, secara logis, sikap yang menolak konflik terbuka dengan kekuatan imperialis itu menuntut lahirnya kebijaksanaan politik yang liberal terhadap modal asing, pengakhiran kekerasan corak/pemuda, terutama terhadap orang-orang kulit putih, mendirikan lembaga-lembaga politik yang dapat diterima Barat, dan sebagainya.
Itu semua serasi dengan kecenderungan politik Syahrir yang liberal-demokratis. Sulit disangkal bahwa Syahrir memang mengutamakan diplomasi daripada menggunakan kekuatan/kekerasan senjata dalam revolusi Indonesia. Hal itu sesuai dengan jalan pemikiran Syahrir tentang demokrasi sosial yang humanis.
Pendekatan Syahrir ini sangat kontras bahkan bertolak belakang dengan pendekatan tokoh seperti Tan Malaka, misalnya, yang revolusioner. Warisan pendekatan a’la Syahrir ini tampaknya masih bisa kita lihat dalam era pemerintahan sekarang. Tarik-menarik antara kubu “neolib” dan kubu yang lebih radikal-nasionalis, masih terus berlangsung. ***

Dikutip dari buku “Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi” dengan Penyunting William H. Frederick dan Soeri Soeroto (Jakarta, LP3ES:1991).

Artikel ini ditulis oleh: