Saat orang yang ditanya tentang air mata yang mengalir begitu derasnya hingga bercampur dengan darah semakin jelas alasannya, bahwa sebetulnya semua itu disebabkan cinta yang begitu dalam. Ia sudah tidak mampu lagi untuk menepis tuduhan, dan akhirnya ia mengakui:
نعم، سرى طيف من أهوى فأرقني ** والحب يعترض اللذات بالألم
“Betul (semua yang kamu tuduhkan tentang air mata yang mengalir bercampur dengan darah), karena bayangan kekasihku muncul lewat saat malam hari, yang kemudian ia membuatku sulit untuk tidur. Dan cinta yang bermula terasa lezat, kini berubah menjadi derita.”
Na’am. Iya. Ia kini mengakui jika sebab air mata itu karena teringat kekasih yang berada di Salam sebab bayangannya yang hadir datang pada malam hari. Lezatnya cinta kini berubah menjadi lezatnya perih dalam mencintai; sebab apa yang ia harapkan dari kekasihnya agar dapat bertemu dan bersua belum juga terwujud. Potongan bait Imam al-Bushiri ini, mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad saat beliau sedang dalam perjalanan menuju Madinah Al-Munawwarah:
سَلَكنا الفَيافي وَالقفار عَلى النَجب
يَحدو بِنا الأَشواق لا حادي الرَكب
Kami tempuh hamparan gurun yang begitu luas dengan membawa bekal secukupnya. Rindu ini sangat kuat mendorong kami untuk terus pergi.
يَلذ لَنا أَن لا يَلذ لَنا الكَـرى
لَما خالَطَ الأَرواح مِن خالص الحُب
Perjalanan yang begitu membuat kami merasa nikmat, karena kami tidak menikmati tidur yang nyenyak (karena lelah menahan rindu), saat cinta suci ini telah bercampur aduk dengan arwah kami.
Cinta yang suci ini, yang menjadikan perindu merasakan nikmat dengan tidak merasakan nikmat materialistik, tergambar jelas isyarat-isyaratnya pada surat Yusuf. Surat yang menjadi gambaran perjalanan para perindu, yang Nabi Ya’qub menjadi pemeran utama yang begitu merindukan anaknya.
Al-Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Al-Saqqaf, salah seorang sastrawan nan faqih pernah bertanya kepada gurunya, tentang tema syiir terindah menurut dirinya. Ia menjawab: “Syiir tentang rindu, dan perpisahan kekasih dengan orang yang ia cintai.” jawaban gurunya itu berlandaskan dengan dalil. Karena Al-Quran, saat ingin menceritakan kisah Nabi Yusuf, ia menyebutkan pada ayat ke-3:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ ٱلْقَصَصِ
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik. (QS. Yusuf 3).
Karena Al-Quran menyebutkan akan menceritakan kisah terbaik, kemudian setelahnya Al-Quran menceritakan kisah Nabi Yusuf dan ayahnya yang berisi tentang kerinduan seorang ayah karena berpisah dengan anaknya. Oleh karena itu, Guru dari Habib Abdulrahman berkeyakinan bahwa kisah rindu dan perpisahan adalah kisah terbaik yang pernah diceritakan.
Lihat saja bagaimana saat Nabi Yusuf memberikan bajunya kepada saudara-saudaranya agar diberi kepada sang ayah. Saat mereka sedang dalam perjalanan dan masih berada di Mesir, dan sang Ayah di Palestina, ayahnya berkata: “Sungguh, aku mencium bau Yusuf.”
Sebelum menemukan tanda-tanda bertemu dengan anaknya, mata sang ayah tidak mampu untuk melihat, sebab tangisan yang tiada henti, menahan rindu yang tak berujung. Namun, sebatas baju itu sampai kepada ayahnya, matanya kembali normal, ia kembali mampu melihat. Seolah hidupnya hanya menjadi nikmat kembali dengan kembalinya sang kekasih, anak yang selama ini ia rindukan.
Dari mana Nabi Ya’qub bisa mendapatkan kembali lezatnya bertemu dengan kekasih? Jawabannya, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat, dia tak pernah berputus asa dari kasih sayang Allah.
يَٰبَنِىَّ ٱذْهَبُوا۟ فَتَحَسَّسُوا۟ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوا۟ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ ۖ
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Nabi Ya’qub seolah memberikan pelajaran, sekalipun kamu sudah sampai pada batas wajar manusia dalam merindu, hingga panca indera sudah hilang fungsinya, tidak lagi mampu melihat karena terlalu sering menangis, tidak mampu lagi merasakan nikmatnya makan, tidak ada lagi nikmat untuk tidur, jangan berputus asa dari kasih sayang Allah, barangkali di titik itu, Allah pertemukan dengan kekasih yang selama ini didambakan.
Suatu saat, pertemuan itu akan ada. Dimulai dengan tanda, seperti bayangan yang hadir bagi Imam al-Bushiri yang membuatnya tak bisa tidur, atau aroma baju Yusuf bagi Ya’qub yang membuatnya merasa kehadiran Yusuf. Kemudian datang utusan sang kekasih, dan setelahnya datanglah waktu yang ditunggu, waktu bertemu dengan kekasih.
**
Fahrizal Fadil, Mustafad dari Habib Muhammad Al-Saqqaf.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin