Allah memerintahkan kepada para sahabat Nabi untuk memanggil Nabi mereka dengan julukan kemuliaan, yaitu ya Rasulallah, ya Nabiyyallah dan lain sebagainya.

Meskipun memanggil seseorang dengan namanya langsung adalah bukan sesuatu yang aib atau dilarang. Akan tetapi Allah mengajarkan bagaimana cara memuliakan Nabi Nya, yang salah satunya adalah dengan bagaimana cara kita memanggilnya.

Apalagi kita di zaman yang menganggap tidak sopan ketika kita memanggil orang yang lebih besar dari kita, atau orang tua dan guru kita langsung dengan menyebut namanya. Ketika mereka memanggil seorang raja atapun pesiden maka dengan menyebutkan pangkatnya terlbih dahulu.

Mereka menyebutkan yang mulia, yang terhormat, dan lain sebagainya. Seperti di Negara-negara arab mereka menyebutkan rajanya dengan kata جلالة الملك atau فخامة الملك yang artinya wahai raja yang agung. Adat sudah berubah, sehingga kita juga harus menghormatinya.

Imam Syafi’I dalam kaidah fikihnya mengatakan “ العادة محكمة” , yaitu adat itu adalah dianggap, bisa menjadi pertimbangan dalam memberikan hukum syari’at. Maka siapakah yang lebih pantas untuk mendapatkan gelar-gelar tersebut? Mereka ataukah Nabi kita yang merupakan Nabinya para Utusan-utusan Allah, merupakan orang yang paling mulia diantara seluruh makhlukNya?

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid